Selain mengandalkan sektor konsumsi, Indonesia harus memanfaatkan bonus demografi. Kondisi itu bisa mendatangkan pengaruh positif karena penduduk usia produktif membeludak. Kondisi tersebut akan terus berlangsung hingga 2035.
Menurut dia, Indonesia harus belajar dari Jepang, Taiwan, Tiongkok, dan Korea Selatan. Ketika mengalami bonus demografi, pertumbuhan ekonomi negara-negara tersebut mampu double digit. Negara-negara itu pun mampu menjadi negara dengan pendapatan per kapita yang tinggi.
Yang dikhawatirkan Chairul, Indonesia punya bonus demografi, tetapi belum dimanfaatkan sebaik-baiknya. ’’Kalau kita terjebak dengan angka pertumbuhan 4,7 persen, kita susah mau keluar dari middle income trap (jebakan pendapatan kelas menengah, Red). Kita sulit untuk beranjak ke high income,’’ papar pria 54 tahun itu.
Momentum bonus demografi tersebut harus benar-benar dimanfaatkan. Caranya, meredakan kegaduhan politik sehingga investasi tumbuh. Dampaknya, membeludaknya penduduk usia produktif akan terserap menjadi tenaga kerja. Dengan begitu, angka pengangguran berkurang, pendapatan bertambah, daya beli meningkat, dan pertumbuhan ekonomi kembali pulih.
Dia berpesan, Indonesia juga harus belajar dari Tiongkok. Beberapa tahun lalu Tiongkok mampu mencetak pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi. Namun, hal itu kini sulit tercapai. Tiongkok masih terjebak dalam pertumbuhan ekonomi yang tidak sampai 7 persen. Selain kondisi ekonomi mereka belum membaik, generasi tua di Negeri Panda itu sudah berlebih. Artinya, pasokan generasi muda yang produktif kurang.
Soal ekonomi global, kewaspadaan masih dibutuhkan, terutama yang terjadi pada Tiongkok. Apalagi yuan atau renminbi telah didevaluasi regulator. Chairul melihat adanya tujuan khusus dari kebijakan itu. Tujuan politisnya lebih kental daripada tujuan memulihkan ekspor. Indonesia tidak hanya harus waspada terhadap kondisi perekonomian Tiongkok, tetapi juga kondisi politiknya.
’’Rasanya Tiongkok seperti ingin mengambil alih posisi Amerika Serikat sebagai negara pengendali ekonomi terbesar di dunia,’’ tuturnya.
Suatu hal lain yang juga harus diwaspadai Indonesia, Tiongkok tampak ingin menguasai Laut China Selatan yang merupakan wilayah penting di kawasan Asia-Pasifik. Tiongkok diprediksi semakin berpengaruh.
Mengenai bisnis media, Chairul sangat paham atas apa yang terjadi pada 2015. Dia mengakui, bujet iklan dari stakeholder media menurun. Menurut CEO yang mempunyai anak usaha Transmedia itu, dalam kondisi ekonomi yang melemah, cost yang paling mudah dipilih untuk dipotong adalah advertising. ’’Itu kebijakan yang sangat populer dan wajar sehingga pengaruhnya kepada industri media cukup besar,’’ jelasnya.