[tie_list type=”minus”]Reshuffle Jaksa Agung dan Menkum HAM[/tie_list]
JAKARTA – Merebaknya isu reshuffle kabinet dinilai klop bila melihat sejumlah kinerja pembantu presiden yang tidak sesuai harapan nawa cita. Kinerja kabinet bidang hukum menjadi yang cukup rentan dikocok ulang karena berbagai program yang dijalankan belum menunjukkan perbaikan kualitas.
Saat ini bila dilihat, kinerja kabinet bidang hukum, terutama Jaksa Agung serta Menteri hukum dan HAM masih belum linier dengan nawa cita. ”Bila melihat kualitas dari program-program kabinet bidang hukum, maka memang belum baik,” jelasnya.
Misalnya, untuk Kejaksaan Agung (Kejagung), memang dari segi jumlah penanganan perkara korupsi dan umum sudah melebihi target. Tapi, bila dilihat dari segi kualitas perkara justru belum berimbang. ”Jumlah perkara banyak, tapi kualitas perkara minimalis,” terangnya.
Saat ini, penanganan perkara di Kejagung masih sebatas mengejar pelaku. Padahal, seharusnya bisa mengungkap gurita kasus korupsi. Tidak hanya satu pelaku, tapi rangkaian pelaku, serta uang hasil korupsi yang mengalir seharusnya dikejar. ”Setiap bukti dikejar terus dan uang korupsi terus dicari, itu yang belum dilakukan,” ujarnya.
Sementara itu, sejumlah lembaga memberikan rapor terhadap setahun kinerja pemerintahan Jokowi – JK, tak ketinggalan Indonesia Coruption Watch (ICW). Mereka memberikan tujuh penilaian dibidang penegakan hukum yang sudah dijalankan pemerintah. Yang paling mendapatkan sorotan juga soal kebijakan Jokowi dalam hal pemilihan para pejabat di bidang hukum yang tak bisa lepas dari kepentingan politis.
Peneliti ICW Emerson Yuntho dalam siaran persnya mengatakan komposisi Kabinet Kerja ternyata tak bisa lepas dari representasi partai politik pendukung Jokowi – JK. Sebanyak 15 menteri dari 34 anggota kabinet merupakan orang-orang partai. Celakanya, mereka-mereka menempati posisi strategis termasuk bidang hukum. Dalam perjalanannya, menteri bidang hukum itu memang lebih banyak mengakomodir kepentingan partainya.