Saat delivery order (DO) importir harus membayar uang muka, selanjutnya saat buah dan sayuran di negara asal panen dan siap dikirim dolar malah menguat hingga tembus Rp 14.500 per dolar AS. ”Harga dari penjual memang tetap misal USD 2 per kilo tapi kita bayarnya pakai rupiah jadi dari harusnya Rp 26.000 jadi Rp 29.000 per kilo. Nah kalau sekontainer?,” keluhnya.
Para importir buah sekarang ini belum berani melakukan delivery order (DO) lagi khawatir dalam beberapa bulan ke depan dolar akan semakin menguat. Sebab jika kurs masih tinggi maka harga jual ke dalam negeri juga menjadi mahal. ”Masalahnya daya beli masyarakat sedang menurun. Akibatnya banyak importir yang pilih jual rugi asal buah cepat laku, daripada busuk,” tukasnya.
Sementara buah dan sayuran lokal belum bisa diandalkan untuk menggenjot ekspor. Padahal seharusnya pelemahan rupiah member keuntungan besar bagi eksportir. ”Belum banyak yang bisa kita ekspor paling cuma manggis, buah naga, mangga, salak. Itupun masih harus pakai pesawat karena volume yang diekspor kecil. Harganya mahal karena ongkosnya tinggi,” tuturnya.
Selain harga mahal, kualitas buah atau barang lain produksi Indonesia dianggap belum cukup baik di pasar internasional. Akibatnya selama ini ekspor di dominasi komoditi seperti CPO atau karet. Itu yang membuat ekspor tidak banyak bergerak meski dolar menguat. ”Mau dolar Rp 13.000 atau 14.500 kalau negara lain tidak mau terima barang dari kita mau apa?” terangnya.
Dia berharap dalam paket kebijakan ekonomi jilid III pemerintah mampu mendorong daya beli masyarakat, terutama dengan menurunkan harga BBM. Sebab hal itu berkaitan langsung dengan distribusi barang.
”Kita berharap biaya logistik di dalam negeri bisa turun sehingga harga barang kita bisa murah di luar negeri. Daya saing ekspor kita meningkat,” jelasnya.
Ketua Asosiasi Tur dan Travel Indonesia (Asita) Asnawi Bahar menambahkan, penguatan rupiah kemarin sangat mengejutkan. Dia berharap, hal itu bisa membuat gairah masyarakat untuk berwisata terutama ke luar negeri bisa lebih bergairah. Sebab, saat USD terus merangkak naik, bisnis itu menjadi lesu.