Kondisi tersebut tentunya menimbulkan masalah tentang siapa sebenarnya yang paling berhak melakukan penyelidikan atas suatu tindak pidana. Sedangkan mengenai fungsi Polisi sebagai penyidik, Polisi ternyata bukanlah satu-satunya institusi yang berwenang menyidik suatu tindak pidana Pasal 1 ayat (4) KUHAP. Masih terdapat Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang juga diberi hak untuk melakukan penyidikan. Jadi KUHAP memungkinkan adanya penyidik yang bukan polisi. Dalam berbagai undang-undang kita dapat menjumpai aturan tentang penyidikan yang harus dilakukan penyidik selain polisi, dalam hal ini PPNS, misalnya antara lain: bidang perikanan (UU No. 9 Tahun 1985), bidang imigrasi (UU No. 9 Tahun1992, bidang Haki (UU No. 14 Tahun 2001, UU No. 15 Tahun 2001, UU No. 31 Tahun 2001) dan undang-undang lainnya.
Apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 30 ayat (1) huruf e UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Negara Republik Indonesia, akan ditemukan tumpang tindih tugas penyidikan. Di bidang peradilan pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang untuk melengkapi berkas perkara tertentu. Oleh karena itu, Kejaksaan dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke Pengadilan.
Bagaimana hubungan antara lembaga Kepolisian dan lembaga-lembaga lainnya yang oleh undang-undang diberikan wewenang untuk menjalankan tugas penyelidikan atau tugas penyidikan, diatur dalam Pasal 42 ayat (1) UU Kepolisian, yaitu: ”Hubungan dan kerja sama Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan badan, lembaga, serta instansi di dalam dan di luar negeri didasarkan atas sendi-sendi hubungan fungsional, saling menghormati, saling membantu, mengutamakan kepentingan umum, serta memperhatikan hierarki. (*/rie)