Berpuluh-puluh halaman dari buku ini dipergunakan Tahir untuk menguraikan perasaannya: tertekan, tersisih, terabaikan, dan bahkan merasa sengaja disisihkan. Banyak contoh dia kemukakan di buku ini. Terlalu panjang dan terlalu terbuka kalau saya uraikan di sini.
Saya, sebagai pengusaha yang akrab dengan lingkungan Tahir maupun Mochtar Riyadi, memang pernah mendengar gosip hubungan yang kurang mesra di antara keduanya. Tapi, saya tidak mengira kalau hubungan itu sedramatis ini. Lebih tidak mengira lagi hal tersebut diungkapkan secara terbuka, blak-blakan, dalam sebuah buku tebal yang dijual secara bebas ini. Merinding membaca bagian-bagian tertentu di buku itu.
Rasanya, belum pernah ada seorang menantu menilai mertuanya seterbuka ini. Termasuk bagaimana seorang menantu memberikan nasihat kepada mertuanya secara terbuka mengenai apa sebaiknya yang harus dilakukan Mochtar Riyadi di hari tuanya sekarang ini.
Saya pun yang semula hanya membaca bagian-bagian yang sexy itu tidak mau terpengaruh. Saya menyisihkan waktu untuk membaca buku ini sejak dari permulaan. Saya tidak ingin terjebak pada penilaian dari satu segi.
Dan ternyata benar. Pada bagian-bagian lain buku ini, Tahir begitu banyak memuji sang mertua. Mulai kecerdasan, kecerdikan, kepandaian, kewibawaan, kebijaksanaan, keberhasilan, sampai ke kemampuan filsafat sang mertua. Hanya, di tengah pujian itu masih juga dia selipkan curhat-curhatnya.
Tahir juga mengakui bahwa suasana tertekan itulah yang justru mendorong dirinya untuk menjadi orang sukses. Harga diri, terpojok, tertekan, terhina, dan sakit hati telah meneguhkan tekadnya untuk harus berhasil. Dalam berusaha maupun dalam membina keluarga. Dan Tahir telah membuktikan dirinya berhasil. ’’Bahkan, saya bisa melebihi mertua saya,’’ katanya. ’’Di usia 62 tahun ini, saya telah mencapai lebih dari yang dicapai mertua saya saat beliau berumur 62 tahun.’’
Rasanya, setelah saya renung-renungkan, Tahir tidak memiliki sentimen negatif kepada pribadi sang mertua. Tersirat di buku itu bahwa Tahir lebih curhat mengenai ipar-ipar lelakinya, James dan Stephen Riyadi. Bahkan, sakit hati pertamanya sebagai menantu Mochtar Riyadi dia rasakan datang dari menantu Mochtar yang lain. Dia ceritakan secara detail peristiwa di Bali itu di dalam buku ini. Sampai-sampai, Tahir menuntut diadakan pertemuan keluarga besar Mochtar Riyadi untuk mengklarifikasi peristiwa itu. Pertemuan keluarga besar tersebut akhirnya benar-benar dilakukan. Dua kali: di Singapura dan di atas kapal pesiar di lautan Pasifik menuju Korea. (*/hen)