Di kelas 6, siswa lebih banyak dikenalkan dengan beragam peralatan yang dibutuhkan saat bencana. Misalnya, alat penerangan dan mantel. Mereka juga diminta menyebutkan lokasi penyimpanan alat-alat tersebut sehingga mudah ditemukan ketika dibutuhkan. ’’Kalau bencana datang, peralatan tidak sulit dicari,’’ ucap pria 48 tahun itu.
Para siswa juga mendapat materi pemberian pertolongan kepada orang yang membutuhkan bantuan. Misalnya, jika saat bencana menemukan lansia atau orang yang sakit dan tidak bisa berjalan, siswa tahu apa yang harus mereka lakukan.
Agar materi itu melekat, sekolah rutin menggelar simulasi. Sakato, salah seorang pengajar, berharap kemampuan menghadapi bencana menjadi sikap yang alami.
Dengan begitu, ketika benar-benar terjadi bencana, seluruh siswa sudah tahu apa yang seharusnya dilakukan sehingga bisa meminimalkan risiko akibat ketidakpahaman saat menghadapi bencana.
Meski materi bencana berbentuk kurikulum, sekolah tidak menerapkan ujian sekolah pada akhir semester. Sekolah hanya meminta tiap siswa melaporkan hasil pelatihan bencana secara tertulis. ’’Laporan itu dibacakan di depan kelas secara bergantian,’’ ucap Sakato.
Pajangan 40 gambar di ruang konser itu juga menjadi salah satu materi pelajaran bencana. Setiap siswa diminta membuat deskripsi atas masing-masing gambar tersebut.
Sakato mengaku tidak tahu sampai kapan akan memajang gambar itu. ’’Ini sekaligus menjadi pengingat untuk generasi berikutnya,’’ imbuhnya.
Inisiatif SD Shichigo dalam menerapkan kurikulum bencana mendapat apresiasi luar biasa dari pemerintah Jepang. Kurikulum itu akhirnya diterapkan di seluruh SD di Jepang. Untuk mengembangkannya, pemerintah Jepang juga sedang menggodok materi kurikulum bencana untuk pendidikan di tingkat lanjut.
Bukan itu saja, sekolah tersebut juga menjadi sangat populer, khususnya terkait dengan bencana. Meski lokasinya jauh dari keramaian, tidak sedikit sekolah lain yang datang untuk sekadar ikut latihan penanganan bencana. Termasuk, komunitas masyarakat lokal ikut bergabung.
Mereka sudah sering melakukan simulasi bareng yang diikuti anak TK, siswa SD dan SMP, serta masyarakat umum. Yang terbaru, sekolah tersebut menggelar simulasi penanganan bencana yang melibatkan 2.500 orang dari berbagai kalangan di halaman sekolah itu. (*/c5/ttg/hen)