Di tempat terpisah, Menkeu Bambang Brodjonegoro mengungkapkan, saat ini, Indonesia tengah menghadapi dua tantangan ekonomi. Tantangan yang pertama merupakan tantangan jangka pendek, yakni ketidakpastian global (global uncertainty) akibat rencana kenaikan suku bunga The Fed (Fed Funds Rate) yang akan diputuskan dalam rapat Federal Open Market Committee (FOMC) yang berlangsung 16-17 September 2015.
Sementara tantangan lainnya, datang dari dalam negeri yakni terkait persoalan struktural dimana tingkat ketergantungan Indonesia terhadap ekspor komoditas dan Sumber Daya Alam (SDA) cukup tinggi. Padahal, saat ini harga komoditas tengah terpuruk.
”Ini yang harus diperbaiki. Karena pada saat yang sama, kita harus segera menyikapi kondisi global untuk jangka pendek, sekaligus menciptakan struktur ekonomi yang kuat di masa depan,” papar Bambang di Gedung Djuanda, Kemenkeu, kemarin.
Terkait hasil keputusan The Fed, Mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) tersebut mengakui, hal tersebut bisa berdampak signifikan bagi nilai tukar rupiah. Namun, menurut dia, gejolak nilai tukar rupiah sudah terjadi sejak 2013 lalu. Sebab, pasar telah berasumsi bahwa The Fed bakal menaikkan suku bunganya.
”Naik atau belum naiknya Fed itu sudah tercermin dari gejolak nilai tukar sejak pertengahan 2013. Nilai tukar dolar terhdap semua mata uang dunia sudah di-price-in dengan menganggap seolah-olah Federal Reserve sudah menaikkan bunga secara signifikan,” papar Bambang.
Karena itu, lanjut Bambang, jika The Fed menaikkan suku bunganya, dipastikan rupiah bakal bergejolak lagi. Hal tersebut akan berdampak pada anggaran negara, khususnya cicilan utang pemerintah.
”(Dampak) lebih ke kondisi ekonomi makronya, kepada kursnya. Ya paling melalui mekanisme kurs, baru bisa terlihat dampaknya terhadap budget (APBN),” katanya.
Terkait keputusan BI yang mempertahankan BI Rate sebesar 7,5 persen, Bambang menilai keputusan tersebut sudah tepat. Khususnya dalam menghadapi kondisi ketidakpastian global sekarang ini.
”Ya pokoknya untuk menjaga kestabilan ekonomi itu paling penting, terutama dari segi moneternya. Jadi kita sambut baik, itu kebijakan terbaik melihat kondisi yang sekarang,” imbuhnya. (dee/ken/rie)