Seiring berjalannya waktu, konflik semakin berkembang. Salah satu bukti kekompleksan perseteruan di kawasan itu kini adalah dilibatkannya Thahan Phran tadi. Rakyat sipil yang dipersenjatai itu mendapat gaji 10 ribu-15 ribu bath (Rp 3,9 juta-Rp 5,9 juta) per bulan dari pemerintah.
Ciri khas personel Thahan Phran adalah berpakaian hitam-hitam. ”Mereka direkrut sebagai pasukan berani mati,” ungkap Tuwaedaniya saat mengantar Jawa Pos ke Narathiwat.
Bangkok, tampaknya, mendesain mereka untuk diadu dengan gerilyawan BRN. Dalam arti, keamanan domestik Pattani, Yala, Narathiwat, dan sebagian Songkhla diserahkan kepada laskar sipil bersenjata tersebut.
Karena itulah, ketika melewati daerah-daerah merah yang intens terjadi serangan dan kontak tembak, Jawa Pos tak pernah menemukan pos pemeriksaan yang dijaga polisi atau tentara. Personel dua instansi resmi itu lebih ditempatkan untuk menjaga objek-objek vital di pusat kota.
Tuwaedaniya menyatakan, tak sedikit di antara anggota paramiliter itu adalah anak-anak muda yang punya jejak kriminal. Dibebaskan dari penjara dengan syarat harus mau diterjunkan ke daerah konflik. Hal itu pernah diungkap pakar militer Amerika Serikat Jim Morris dan dituangkan dalam buku The Devils Secret Name.
Faktor itulah yang memunculkan ego dan kesewenang-wenangan, khususnya kepada penduduk lokal, baik muslim maupun Buddha. Hamdam, aktivis sekaligus pengacara di Moslem Attorney Center Foundation (MACF) atau Lembaga Bantuan Hukum di Thailand Selatan, bertutur, sebanyak 80 persen kasus kekerasan sipil yang terjadi di Thailand Selatan melibatkan paramiliter. Psikologis yang mudah panik berimbas pada mudahnya prajurit muda itu menarik pelatuk.
Selama dua hari berturut-turut di Narathiwat, saya mendengar berita kematian dan penembakan. Ciri-ciri pelakunya mengarah pada paramiliter. Kabar kematian di sana datang seperti angin lalu. Datang dan pergi. Orang menanggapinya secara dingin.
International Crisis Group pernah merilis perlunya pemerintah Thailand mengkaji lagi penggunaan paramiliter. Dalam beberapa kasus, kehadiran mereka malah memperburuk ketegangan komunal.
Setelah bertemu Chikmud di Narathiwat, Jawa Pos dan Tuwaedaniya nekat pulang ke Pattani malam itu juga. Di Pattani, bepergian malam-malam sama saja dengan mengundi nasib. Malaise bisa terjadi kapan saja, di mana saja. Entah itu terkena peluru nyasar atau memang jadi target yang disasar.