Belajar Bersama Maestro Musik Sunda Tan Deseng

Tetapi, entah bagaimana ceritanya, kaset pita berisi rekaman kesenian buhun itu bocor dan beredar di pasaran. Tan semakin kaget ketika mengetahui kaset rekaman kesenian buhun tersebut meledak alias laris diburu masyarakat. Waktu itu belum ada aturan royalti atau hak cipta. Tan tidak mendapatkan apa-apa. Toh dia merekam kesenian buhun juga tidak dilandasi motivasi finansial.

Tan juga pernah dijuluki seniman gila. Tepatnya ketika dia menjadi orang pertama dan satu-satunya, saat itu, yang merekam penuh pergelaran wayang golek. Bisa dibayangkan, dia habis berapa panjang pita kaset untuk merekam wayang golek tersebut.

Namun, ketika selesai, rekaman wayang golek perdananya itu ternyata laris di pasaran. Sejak saat itulah, Tan sering merekam kesenian ’’aneh’’, tetapi laris manis di pasaran.

Termasuk ketika dia merekam permainan biola Mang Adang (Adang S. Nurputra). Meski buta, permainan biola Mang Adang dikenal sangat maut. Tan awalnya menjumpai Mang Adang ketika bermain biola di pinggir jalan. ’’Saya sampai bolos sekolah untuk melihat permainan biola Mang Adang,’’ katanya.

Dengan inisiatif sendiri, Tan lantas mengajak Mang Adang untuk rekaman. Kaset perdana permainan musik biola Mang Adang ternyata juga laris manis diburu pencinta musik biola Sunda. Bagi Tan, seniman sejati juga harus bermanfaat bagi seniman lainnya.

Tan lantas bercerita tentang dirinya sampai mendapatkan ’’gelar’’ maestro di bidang seni musik Sunda. Dia mengatakan, seniman harus merasa haus ilmu. ’’Saya itu serakah terhadap ilmu,’’ kata pria yang pernah manggung di Malaysia, Tiongkok, Hongkong, dan Jepang itu.

Sebagai seniman tulen, Tan merasa selalu merasa ingin memiliki dan ingin bisa. Rasa ingin itulah yang membuatnya tidak pernah berhenti belajar dan belajar. Bagi dia, seniman tidak bisa berhenti pada titik tertentu. ’’Berhentinya ketika nanti dipanggil Allah (meninggal, Red),’’ tuturnya, kemudian tertawa. (*/c10/kim/hen)

Tinggalkan Balasan