Rayu Penenun Tua agar Mau Ajari Anak Muda

Karena itu, solusinya adalah menjual kain tenun Toraja dalam bentuk produk jadi seperti baju, celana, syal, tas, dan berbagai aksesori lain. Pemasaran pun tidak bisa hanya dilakukan di Toraja, tapi harus langsung di pusat perputaran uang, Jakarta.

Sejuk dan hijaunya Tana Toraja pun mulai dia tinggalkan. Demi membuka pasar, Dinny kembali harus menghadapi macet dan panasnya Jakarta. Kegigihan Dinny itu lantas menggugah adiknya, Nina Jusuf, yang saat itu tinggal di Amerika Serikat. Sebagai lulusan fine art in fashion design dari Academy of Art University di San Francisco, Nina lantas bergabung dan membuat desain pakaian dari bahan kain tenun Toraja.

Dinny lantas menggandeng ibu-ibu rumah tangga dari Yayasan Perempuan Kepala Keluarga (Pekka) di Jakarta untuk menjahit pakaian dari kain tenun tersebut. Berbekal promosi dari mulut ke mulut, produk itu laris manis saat dipasarkan kepada teman-teman maupun koleganya. ”Waktu itu saya bikin 100 (potong) baju. Habis terjual dalam waktu singkat,” ujarnya sambil tersenyum lebar.

Permintaan pun berdatangan. Bukan hanya baju, tapi juga tas, sepatu, dan berbagai aksesori dari kain tenun Toraja. Dinny lantas membagi kabar gembira itu kepada para penenun di Toraja.

Namun, tingginya permintaan tersebut sekaligus membuat pening kepala. Usia para penenun yang sudah tua membuat produksi tidak bisa ditingkatkan dengan cepat. Karena itu, jumlah penenun harus lebih banyak. Dinny kemudian mendekati ibu-ibu rumah tangga di Toraja untuk diajak menenun. Tapi, mayoritas di antara mereka tidak memiliki keahlian itu.

Dinny pun mulai mengadakan pelatihan menenun. Dengan janji bahwa hasil tenun akan dibeli, beberapa perempuan bersedia ikut. Namun, permasalahan lain menghadang. Rupanya, para penenun tua hanya bersedia mengajarkan keterampilan menenun kepada anak-anak atau cucunya. Padahal, banyak anak perempuan mereka yang menjadi TKI atau bekerja di luar daerah. ”Rupanya, keterampilan tenun dianggap rahasia keluarga. Jadi, tidak diajarkan kepada orang yang bukan keluarganya,” kata Dinny sambil geleng-geleng.

Tapi, Dinny tak putus asa. Dengan sabar dan tekun, dia mendatangi para penenun tua, mengajak mereka makan bersama. Tak cuma sekali dua kali, melainkan hingga belasan kali sembari terus menanamkan kesadaran betapa pentingnya mereka mewariskan keterampilan tenun kepada generasi berikutnya.

Tinggalkan Balasan