[tie_list type=”minus”]Akses ke Perbankan Masih Rendah [/tie_list]
JAKARTA – Meski dirundung isu perlambatan, perekonomian Indonesia masih cukup menjanjikan di mata investor. Hal tersebut tampak dalam acara Institute of International Finance (IIF) yang dihadiri banyak eksekutif puncak dari perusahaan ternama. Mulai DBS, JP Morgan, Commonwealth, Barclays, Deutsche Bank, Goldman Sachs, hingga BCA dan ANZ Indonesia.
Direktur Utama PT Bank Mandiri Tbk Budi Gunadi Sadikin menuturkan, kehadiran para CEO tersebut membuktikan bahwa masih ada optimistis terhadap perekonomian Indonesia meski pada triwulan pertama tahun ini capaian pertumbuhan ekonomi hanya 4,71 persen. ’’Semua CEO ini datang karena sangat optimistis terhadap Indonesia. Sebab, kita adalah pilar di Asia,’’ ujarnya di Jakarta kemarin.
Keyakinan itu berlatar belakang banyaknya sektor yang bisa digarap dan berpeluang tumbuh tinggi ke depannya. Misalnya, terkait dengan infrastruktur seperti bandar udara, kereta api, pelabuhan, dan lain-lain.
Dia menyebutkan, pembiayaan bank masih sangat dibutuhkan. ’’Setiap tahun harus mencapai USD 80 juta untuk membangun infrastruktur,’’ ucapnya.
Dia juga mengingatkan bahwa masih rendahnya akses masyarakat ke perbankan menjadi tantangan di Indonesia. ’’Pemilik telepon genggam lebih dari 200 juta orang, tapi yang bisa mengakses perbankan hanya 60 juta orang,’’ jelasnya.
Sementara itu, pembangunan infrastruktur yang saat ini menjadi fokus pemerintah Indonesia memerlukan dana besar. Dengan demikian, sektor perbankan mesti berperan mendorong program pembangunan infrastruktur.
Lemahnya pertumbuhan ekonomi tidak lepas dari perekonomian global yang lebih rendah daripada tahun sebelumnya. Persoalan turunnya harga komoditas sejak tiga tahun terakhir ditambah melemahnya harga minyak dunia pada akhir tahun lalu disebutnya menjadi pemicu perlambatan.
Dari faktor domestik, konsumsi rumah tangga cenderung stabil. Padahal, pada tahun-tahun sebelumnya, konsumsi menjadi pendorong yang cukup besar untuk perekonomian dalam negeri. ’’Makanya, kita harus banyak konsumsi dalam negeri,’’ tuturnya.
Sementara itu, Bank Indonesia (BI) mendorong perkembangan pasar hedging (lindung nilai) dengan cara menyosialisasikannya kepada regulator dan pelaku ekonomi. Diharapkan, semua mempunyai kesepahaman. Dengan begitu, transaksi lindung nilai bisa dijalankan dengan penuh tanggung jawab, konsekuen, dan konsisten.