JAKARTA – Menjamin terlaksananya pendidikan bagi anak kebutuhan khusus, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), membuat peraturan mengenai pendidikan nasional (permendiknas) nomor 70 tahun 2009 tentang pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
Pemerhati dan pengajar sekolah Inklusi Dante Rigmalia menjelaskan, inklusi berarti melibatkan semua peserta didik tanpa terkecuali. Untuk itu dibutuhkan kurikulum yang menciptakan pembelajaran yang ramah. ’’Untuk memahami keberagaman anak, guru harus mengubah strategi belajar buruk,’’ kata Dante.
Strategi belajar mengajar selama ini dinilai tidak tepat jadi anak tidak terarahkan. Contohnya guru hanya memberikan ceramah, sehingga sensoris yang diterima anak kurang. Seharusnya menurut Dante, ada perubahan metode. Dia menjelaskan pembelajaran pada Kurikulum 2013 (K-13) dinilai sangat tepat untuk anak sekolah inklusif, apabila dikelola dan tidak adanya kesalahan pada buku dan proses penilaian akhir.
Pendidikan inklusif, berarti menghargai dan mengakui bahwa semua anak berbeda dan semua anak dapat belajar. Salah satu aspek penting adalah anak mendapat hak yang sama, pendidikan adil, tidak diskriminatif dan relavan, dan partisipasi aktif.
Provinsi DKI Jakarta, telah mendeklarasikan diri sebagai kota pendidikan inklusif sejak akhir 2013. Menurut Suratno, Pengawas sekolah inklusif di wilayah kecamatan Keramat Jati, Jakarta Timur, pelaksanaan sekolah inklusi di Jaktim sangat membantu orang tua. Dia sempat menyebut ada dua sekolah dasar inklusi, yang menjadi sekolah rujukan. Sekolah tersebut adalah SD 16 dan 24. Kedua sekolah tersebut mengalami peningkatan jumlah siswa yang berkebutuhan khusus tiap tahun.
’’Banyak guru dari daerah lain yang belajar di sekolah tersebut,’’ ujarnya.
Dia mengharapkan semua pihak penyelenggara sekolah inklusif, harus mengerti beragai kondisi kekhususan anak, dan mampu mengindentifikasi kondisi- kondisi kekhususan kepada anak selama anak belajar sekolah tersebut. (rls/far)