Bahkan, masalah ketidaklengkapan pimpinan KPK juga diungkit-ungkit. Dia menuturkan bahwa pimpinan KPK itu bersifat kolegial. Karena itu, seharusnya jumlah pimpinan yang lengkap baru bisa membuat keputusan, termasuk soal penetapan tersangka. ’’Sekarang jumlah pimpinan KPK itu hanya empat, karena itu penetapan tersangka Budi harus dibatalkan demi hukum,’’ ujarnya.
Dengan itu semua, maka ada dua orang pimpinan KPK yang dilaporkan, yakni Abraham Samad dan Bambang Widjojanto. Menurut dia, keduanya diduga melanggar UU 20/2001 tentang pemberantasan korupsi. ’’Saya berharap semua bisa diproses,’’ ujarnya.
Namun, laporan itu sebenarnya terbilang kurang tepat. Pasalnya, laporan yang dilakukan ke Jampidsus itu masih belum jelas apakah itu kewenangan dari Jampidsus atau tidak. Direktur Penyelidikan (Dirdik) Kejagung Suyadi menuturkan, pihaknya hingga saat ini masih mempertanyakan apakah ini merupakan tupoksi dari Jampidsus. ’’Kami ingin menganalisa laporan ini terlebih dahulu. Sebab, jangan-jangan ini bukan tupoksi kami,’’ paparnya.
Sampai kapan analisa itu bisa diketahui hasilnya, dia memastikan akan melakukannya secepatnya. Hal itu tentu karena masalah yang cukup sensitive. ’’Tentunya, tidak bisa gegabah,’’ jelasnya.
Dalam menangani perkara Budi Gunawan, KPK memang terkesan tengah dikeroyok sejumlah pihak. Selain berhadap-hadapan dengan Polri, KPK juga diserang DPR. Bahkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly yang menjadi representif pemerintah pun terkesan memihak Budi Gunawan.
Yasonna menilai upaya mengajukan pra peradilan merupakan hak setiap orang. Hak itu juga melekat pada Budi Gunawan yang saat ini mengajukan gugatan atas status tersangkanya oleh KPK. ’’Kalau Pak BG merasa ada haknya yang terdzalimi, ada celah hukum untuk ajukan pra peradilan menurut mereka ya itu haknya lah. Gak mungkin kita larang. Misalnya haknya untuk didampingi pengacara,’’ kata Yasona di gedung parlemen, Jakarta, kemarin (21/1).
Politikus PDIP itu mengatakan, negara hukum memiliki tiga prinsip dasar. Supremasi hukum harus ditegakkan atas kedaulatan, bukan kekuasaan. Selanjutnya, prinsip equality before the law, dimana semua pihak sama di mata hukum. Terakhir ada due process of law, harus sesuai dengan hukum. ’’Tidak boleh menegakkan hukum dengan melanggar hukum,’’ ujarnya.