”Karena itu, untuk sementara, kartu kendali akan diperluas ke wilayah yang berupa kepulauan. Misalnya, di sekitar Batam atau Bali,” ujarnya.
Menurut Ibrahim, pemberlakuan pembatasan konsumsi BBM subsidi merupakan kewenangan pemerintah daerah, kecuali jika diberlakukan secara nasional. Karena itu, BPH Migas sudah merekomendasikan kepala-kepala daerah untuk ikut memberlakukannya. Lantas, apa keuntungan daerah?
”Kalau konsumsi BBM subsidi dibatasi, pemilik kendaraan akan beralih ke BBM nonsubsidi sehingga pendapatan dari pajak BBM akan jauh lebih tinggi,” katanya.
Ibrahim mengungkapkan, pajak BBM memang masuk sebagai pendapatan asli daerah (PAD). Saat ini pajak BBM subsidi ada di kisaran 5 persen, sedangkan pajak BBM nonsubsidi sebesar 10 persen.
Dengan harga BBM nonsubsidi yang lebih mahal dan tarif pajak yang lebih tinggi, penerimaan daerah bisa naik signifikan. ”Kami sudah menghubungi beberapa pemda (untuk memberlakukan pembatasan BBM subsidi), responsnya positif, tapi belum bisa disebutkan (pemda mana saja), nanti kalau sudah ada kepastian,” ucapnya.
Pembatasan konsumsi BBM subsidi sejatinya sudah didengungkan pada 2011. BPH Migas pun telah melakukan survei untuk mengetahui rata-rata konsumsi BBM subsidi. Hasilnya, rata-rata konsumsi premium oleh mobil pribadi adalah 9,80 liter per hari.
Angka itu didapat dari rekapitulasi atas rata-rata jarak tempuh kendaraan penumpang pribadi yang 55,4 persen di antaranya hanya menempuh jarak kurang dari 50 kilometer (km) per hari. Adapun 30,1 persen selebihnya menempuh jarak antara 51–100 km per hari.
Sementara itu, dalam rapat antara pemerintah dan Badan Anggaran DPR yang berakhir Jumat tengah malam lalu (13/6), subsidi BBM dalam RAPBN Perubahan 2014 akhirnya ditetapkan sebesar Rp 246,49 triliun. (owi/c10/sof)