BANDUNG – Sebagai kota tujuan wisata tentunya Kota Bandung memiliki konsekuensi, diantaranya kemacetan yang berdampak pada penurunan kualitas udara akibat emisi kendaraan bermotor.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Bandung, Kamalia Purbani mengatakan, Kota Bandung merupakan Kota Metropolitan dengan tingkat kepadatan penduduk cukup tinggi. Hal ini berdampak negatif pada pencemaran udara.
Menurutnya, transportasi menjadi sumber pencemar udara terbanyak di Kota Bandung atau sekitar 70 persen.
”Kalau industri berkotribusi 10 hingga 15 persen menghasilkan gas buang, sisanya berasal dari kegiatan rumah tangga, pembakaran sampah, dan lainnya,” ujar Kamali dilansir dari Ayobandung.com, Jumat (4/9).
Berdasarkan survei dari Asian Development Bank (ADB) pada 2019, Kota Bandung menjadi kota termacet se-Indonesia. Bandung mengalahkan Jakarta (17) dan Surabaya (20).
Di Asia, Kota Bandung menempati peringkat 14, mengalahkan Mumbai, Chennai, Singapura, Karachi, dan Hong Kong. Sedikitnya ada 278 kota yang diteliti dari sebanyak 45 negara dalam survei ini.
Meski begitu, kualitas udara Kota Bandung berdasarkan Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) tahun 2020 per 31 Maret 2020 hingga Jumat (4/9/2020) termasuk dalam kategori baik. Kualitas udaranya lebih baik dibandingkan Kota Sukabumi yang masuk kategori tidak sehat dan Karawang yang masuk kategori sedang.
”Namun, dikhawatirkan kualitas udara meningkat sampai kategori sedang, mengingat kegiatan transportasi pasca penerapan AKB meningkat kembali,” kata Kamalia Purbani dalam dialog publik bertema “Mendorong Kota Bandung Terapkan Wisata yang Ramah Lingkungan dengan BBM Berkualitas” yang diadakan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Jumat (4/9).
Sementara itu, menurut Direktur Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) Ahmad Safrudin mengungkapkan, dalam 5 tahun terakhir, jumlah penggunaan kendaraan bermotor di Indonesia terus bertambah.
Pada 2019, 1,02 juta unit mobil dan 6,48 juta unit sepeda motor terjual. Hal ini bisa menambah masalah pada kualitas udara. Terutama jika bahan bakar yang digunakan masih Research Octane Number (RON) 88, yang menghasilkan emisi sangat tinggi. Jenis bahan bakar ini pun terbilang cepat merusak mesin kendaraan.
Terdapat 4 BBM yang dianggap tidak layak, yaitu Premium dengan nilai oktan 88, Pertalite (90), Solar (48), dan Dexlite (51).
Ahmad Safrudin mengatakan, semakin rendah nilai oktan, semakin besar gas karbon dioksida, nitrogen oksida, karbon monoksida, dan berbagai partikel lain yang dihasilkan.