100.000

Pembaca pun mafhum: ada yang lagi disensor. Lalu kasak-kusuk. Masyarakat pun cari bocorannya: ada peristiwa apa? Bocoran itu lebih seru dari aslinya.

Hitam itu sebagai protes.

Putih itu sebagai protes.

Marah dalam diam sampai hitam. Pun sampai putih.

The New York Times bisa memadukan antara jurnalistik, kontrol sosial, protes, dan marah dengan bungkus artistik.

Memang redaksinya sudah lama jengkel terhadap Trump –pun sejak ia belum jadi presiden. Maka, ketika angka-angka korban Covid terus membumbung, mereka sampai pada kesimpulan: pasti akan mencapai 100.000 orang. Itu karena media melihat Presiden Trump kurang serius menangani Covid-19.

Apa yang akan dilakukan media seperti The New York Times?

Diskusi internal pun dilakukan. Melibatkan staf artistik. Banyak ide yang muncul: penuhi saja halaman depan dengan foto-foto wajah korban –kecil-kecil.

Tapi itu sudah biasa. Dan halaman depan itu akan terlihat kotor.

Ada pula ide halaman depan itu dipenuhi saja titik-titik. Sebanyak 100.000 titik. Ide ini dianggap kurang menusuk ke relung hati.

Akhirnya diputuskan nama-nama itu. Saya mengagumi ide itu. Dan mengagumi yang menyetujui ide itu.

Tapi mengapa korban di sana sampai 100.000?

Trump pernah tidak menduga akan sebesar itu. Ia pernah menganggap Covid itu begitu sepele. ”Kan hanya 15 orang yang terkena virus,” katanya akhir Februari lalu. ”Dalam beberapa hari lagi akan teratasi. Akan menjadi nol,” tambahnya.

Sewaktu yang mati ternyata mencapai 30.000 orang ia baru mengatakan ini: kemungkinan yang mati akan mencapai 70.000 sampai 100.000. Tapi ia punya maksud khusus dengan menyebut angka besar itu. Maksudnya: kalau ternyata yang mati 50.000 ia bisa membanggakan diri: lebih kecil dari perkiraan.

Ketika angka sudah melewati 50.000, ia mengutip perkiraan ahli: akan sampai 200.000. Agar –kalau ternyata 100.000– ia masih bisa bangga: jauh di bawah perkiraan.

Di mata Trump, bisa saja, yang mati itu memang hanya angka-angka. (Dahlan Iskan)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan