Tidak Welcome

Saya pikir Dyson tahu bahwa Indonesia adalah pasar yang sangat besar. Yang bisa diincar dari Singapura. Lewat perdagangan bebas Asia Tenggara.

Dengan memilih Singapura, Dyson seperti memproduksi di depan mata.

Tidak saya sangka tiba-tiba Dyson mengirim berita duka.

Ternyata Dyson tetap seorang pebisnis sejati. Yang hitungan untung-ruginya tetap nomor satu.

Jarang penemu yang tidak emosional seperti Dyson. Yang tetap mempertanyakan: berapa besar laba yang didapat dari investasi Rp 50 triliun itu.

Tapi mengapa baru sekarang akal sehat bisnisnya itu muncul? Mengapa tidak sejak awal? Sebelum membeli lahan di Singapura? Dan sebelum punya 600 tenaga ahli?

Di sinilah alasan ‘tidak menguntungkan’ tadi harus dipertanyakan.

Saya lebih melihat pada kerumitan teknis. Atau birokrasi.

Industri mobil memerlukan supply chain yang panjang.

Membuat mobil memerlukan sekitar 20.000 onderdil.

Beda dengan membuat vacuum cleaner. Atau hair dryer. Yang hanya perlu 2.000 onderdil.

Singapura sangat miskin supply chain. Beda dengan Indonesia. Apalagi Tiongkok.

Mestinya Dyson mendirikan pabrik mobil listriknya di Indonesia.

Dyson sudah terlalu tua untuk berani mengambil resiko besar. Mula-mula seperti berani. Tapi ternyata sudah tua juga.

Dari segi bisnis putusan Dyson itu sangat benar. Di usianya itu. Memulai bisnis di bidang yang baru perlu waktu yang panjang. Juga perkelahian yang melelahkan.

Tapi saya tidak tahu persis alasan yang sebenarnya. Hanya saja saya ingat ini: Elon Musk pernah bicara blak-blakan tentang Singapura. Tahun lalu.

Penggagas Tesla itu mengatakan “Singapura tidak welcome pada mobil listrik”. (*)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan