BANDUNG – Pemerintah Provinsi Jawa Barat menyetujui rekomendasi kenaikan upah minimum Kabupaten/Kota Tahun 2020 sebesar 8,51 persen. Kenaikan itu telah sesuai dengan rekomendasi bupati dan wali kota se-Jabar yang tertuang dalam surat edaran bernomor 561/75/Yanbangsos, terkait pelaksanaan UMK kabupaten/kota di Jabar 2020.
Untuk diketahui, UMK di Jabar tahun ini naik 8,51 persen, merujuk pada Peraturan Pemerintah No 78 tahun 2015 tentang pengupahan. Dalam surat edaran terkait dengan pelaksanaan UMK kabupaten/kota di Jabar tahun 2020 tersebut, UMK di Kabupaten Karawang tetap yang tertinggi di Jabar, sementara Kota Banjar memiliki UMK paling rendah.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jawa Barat Ade Afriandi mengatakan penetapan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) Tahun 2020 tidak melalui surat keputusan (SK) Gubernur.
Namun, mengacu pada format Surat Edaran Nomor: 561/75/Yanbangsos yang dipayungi oleh berbagai aturan hukum. Mulai dari peraturan menteri, keputusan menteri, peraturan pemerintah, sampai undang-undang.
Dia mengatakan, format surat edaran dilakukan guna membuka ruang perundingan seluas mungkin antara pengusaha dengan serikat pekerja dalam membicarakan kesepakatan keberlanjutan usaha dan kesejahteraan pekerjanya.
”Pengupahan itu bukan pemerintah mengatur upah pekerja, tapi perundingan antara perusahaan, pengusaha, dan serikat pekerja. Surat edaran ini membuka peluang lebih luas untuk perundingan tersebut,” ujar Ade dalam Jabar Punya Informasi (Japri) di Gedung Sate, Jumat (22/11).
Menurut Ade, surat edaran pun memiliki kekuatan hukum dalam administrasi pemerintahan yang dapat juga dijadikan dasar gugatan tata usaha negara jika tidak diikuti.
Dia mengatakan, saat UMK 2018 ditetapkan dalam bentuk surat keputusan. Saat itu dari 32 ribu industri di Jawa Barat, 73 industri di antaranya mengajukan penangguhan pemberlakuan UMK. ”Sekitar 80 persen di antaranya perusahan garmen,” ucapnya.
Sedangkan pada 2019, dia melanjutkan, terdapat 54 perusahaan mengajukan pengangguhan. Tercatat 90 persen di antaranya adalah sektor garmen.
Menurut dia, perusahaan tersebut terkena dampak dari pelemahan ekonomi. Sehingga mempengaruhi stabilitas upah di Jabar. Mereka pun semakin berat menjalankan usahanya dan sempat berminat memindahkan usahanya ke daerah lain dengan upah lebih murah.
Bilamana UMK 2020 menggunakan surat keputusan, kata Ade, bukan tidak mungkin hal tersebut akan terus berulang. Lantaran upaya langkah perundingan antara pengusaha dan pekerja sulit dilakukan dan akhirnya rentan terhadap pelambatan ekonomi.
”Dengan terobosan Pak Gubernur ini, bagaimana para pekerja tetap bekerja dan sejahtera, dan bagaimana juga perusahaan bisa menjaga kesinambungan usaha mereka, dengan adanya perundingan,” urainya.
Dia mengatakan, pemberlakuan surat edaran ini, juga supaya tidak menambah angka pengangguran. Sekaligus mempertahankan keberlangsungan dunia usaha di Jawa Barat.
”Februari lalu angka pengangguran 8,2 persen, turun pada Agustus jadi 7,73 persen, kemudian terakhir kemarin rilis jadi 7,99 persen. Ini jadi pertimbangan sehingga hal ini dikomunikasikan ke kementerian. Kondisi industri Jabar heterogen, dan Jabar menarik investor. Maka diperlukan kebijakan pengupahan yang tepat,” tuturnya.
”Karena kalau upah naik terus nanti pengusaha tidak bisa bayar dan industri tutup, siapa yang mau bayar gaji karyawan?” pungkasnya.
Sementara itu, Pakar Hukum Perburuhan Saut Kristianus Manalu menilai, dari substansi surat edaran yang menekankan agar pengusaha dan pekerja melaksanakan perundingan bipartit untuk menetapkan upah dan besaran kenaikan UMK 2019, sudah tepat.
Menurut Saut, bentuk surat edaran pelaksanaan UMK kabupaten/kota di Jabar tahun 2020 sudah sesuai dengan konstruksi hukum. Menurutnya, yang wajib ditetapkan oleh gubernur adalah Upah Minimum Provinsi (UMP).
Dengan adanya surat itu, maka UMK tahun ini tidak boleh rendah dibandingkan UMK 2019, serta menyerahkan perundingan kenaikan dalam skala lokal menyesuaikan kondisi perusahaan.
”Yang tidak boleh, adalah membayar di bawah upah minimum,” kata Saut kepada Jabar Ekspres, kemarin.
Saut berpendapat, kebijakan UMP yang sudah berjalan cukup efektif menekan peluang disparitas upah. Dengan pekenanan perundingan bipartit, maka pemerintah daerah tinggal memastikan perundingan bisa berjalan dengan baik.
Mantan hakim ad hoc pengadilan industrial tersebut mengatakan, upah minimum itu berlaku bagi pekerja lajang yang di bawah masa kerja satu tahun. Yang di atas satu tahun, kata dia, melawati mekanisme perundingan pekerja atau serikat pekerja dengan pengusaha.
Dia menegaskan, upah minimum itu berlaku untuk semua pengusaha. Pengusaha itu, seperti dalam Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan disebutkan, bisa perorangan, persekutuan, dan badan hukum.
”Semuanya harus patuh pada upah minimum itu. Pelayan toko di pinggir jalan saja sama kedudukannya dengan karyawan di perusahaan besar,” jelasnya.
”Kalau tidak, pengusahanya kena pidana,” sambungnya.
Yang menarik dari SE yang dikeluarkan gubernur, kata dia, adanya struktur dan skala upah. ”Kedua elemen itu adalah mimpi dari setiap pekerja,” ucapnya.
Dengan kata lain, buruh dilihat dari golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan dan kompetisi. Dan hal ini wajib diberitahukan kepada seluruh pekerja. Termasuk wajib dilaporkan kepada Dinas Tenaga Kerja kabupaten/kota.
”Dengan SE Gubenur ini, otomatis hubungan industrial harus bertemu (pengusaha dan buruh). Buruh tidak bisa maksa ke pemerintah harus naik sekian dan sekian. Sebab, perusahaan itu sektor private dan uangnya (operasional dan gaji, Red) tidak berasal dari pemerintah,” pungkasnya. (rie)
Berikut daftar UMK di Jawa Barat:
1. Kabupaten Karawang Rp 4.594.324
2. Kota Bekasi Rp 4.589.708
3. Kabupaten Bekasi Rp 4.498.961
4. Kota Depok Rp 4.202.105
5. Kota Bogor Rp 4.169.806
6. Kabupaten Bogor Rp 4.083.670
7. Kabupaten Purwakarta Rp 4.039.067
8. Kota Bandung Rp 3.623.778
9. Kabupaten Bandung Barat Rp 3.145.427
10. Kabupaten Sumedang Rp 3.139.275
11. Kabupaten Bandung Rp 3.139.275
12. Kota Cimahi Rp 3.139.274
13. Kabupaten Sukabumi Rp 3.028.531
14. Kabupaten Subang Rp 2.965.468
15. Kabupaten Cianjur Rp 2.534.798
16. Kota Sukabumi Rp 2.530.182
17. Kabupaten Indramayu Rp2.297.931
18. Kota Tasikmalaya Rp 2.264.093
19. Kabupaten Tasikmalaya Rp 2.251.787
20. Kota Cirebon Rp 2.219.487
21. Kabupaten Cirebon Rp 2.196.416
22. Kabupaten Garut Rp 1.961.085
23. Kabupaten Majalengka Rp1.944.166
24. Kabupaten Kuningan Rp 1.882.642
25. Kabupaten Ciamis Rp 1.880.654
26. Kabupaten Pangandaran Rp 1.860.591
27. Kota Banjar Rp 1.831.884