Pelaksanaan Pemilu 2019 Sebaiknya Tak Dijadikan Perang Antar Pendukung

CIMAHI— Para pendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden capres dan cawapres nomor urut 01 maupun pasangan nomor urut 02 tak perlu bertentangan hingga berdarah-darah hanya karena berbeda pilihan. Sebab, pelaksanaan Pemilu 2019 bukan sebagai pertarungan antar pendukung pasangan calon.

Hal tersebut dikatakan Pengamat politik Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati sekaligus Ketua DPW Persis Jawa Barat, Dr. Engkos Kosasih, disela-sela kegiatan Ngopi Senja Peran Ideologi dan Politik dalam Mewujudkan Pemilu Damai yang diinisiasi HMI Komisariat Achmad Yani, di Jalan Ciawitali Kota Cimahi, Kamis (7/2).

”Tidak perlu sampai seperti itu. Siklus demokrasi ini kan sudah rutin, seharusnya bisa dikawal tanpa mendahulukan perbedaan ideologi,” ungkap Engkos.

Menurutnya, bagi generasi milenial yang kebanyakan masuk dalam kategori swing voters, seharusnya mendahulukan azas sosial, pertemanan, dan hubungan antara satu sama lain yang sudah lebih lama terjalin ketimbang mendukung salah satu pihak dalam pilpres nanti.

”Hubungan yang sudah terjalin itu jauh lebih utama ketimbang pilihan politik. Ketika hubungan rusak karena hubungan politik, terkesan konyol. Dan itu akan sulit untuk diperbaiki,” ujarnya.

Dikatakannya, jika penggila ideologi kebangsaan yang salah memahami arti dan menyimpan pilihan politik di atas segalanya, maka ikatan sosial dan moral bisa rusak. ”Silakan berpolitik, tapi jangan terbawa arus begitu mudah. Hayati ideologi, tapi pahami. Jangan jadi orang yang hanya ingin ikut-ikutan saja, apalagi menjelang pesta demokrasi seperti ini,” katanya.

Menyinggung soal serangan hoax dan SARA yang sangat kental belakangan ini, dia menganggap, hal tersebut merupakan mainan pihak-pihak yang belum matang secara pengetahuan politik. Sebab jika mengerti, seharusnya mereka lebuih baik menjual kapabilitas calon yang bagus atau menjual.

”Kalau program yang dijanjikan sangat merakyat dan menarik, kenapa harus menjual isu hoax dan SARA. Sejujurnya saya kira mereka merasa putus asa dan tidak percaya diri, itu budaya yang kurang bagus. Dan itu yang harus dihapuskan,” tandasnya.

Ditempat yang sama, Faiz Zawahir, mahasiswa Pascasarjana Universitas Indonesia, menambahkan, seharusnya pesta demokrasi disambut dengan sukacita, karena mengandung unsur pesta yang dirayakan rakyat.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan