Kota Penuh Flyover Dinilai Gagal Atasi Kemacetan, Bandung Hadapi Masa Depan Mobilitas yang Suram

Kota Penuh Flyover Dinilai Gagal Atasi Kemacetan, Bandung Hadapi Masa Depan Mobilitas yang Suram
Sejumlah kendaraan berjalan diatas Jalan Layang Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, Kota Bandung, Rabu (3/12). Foto: Dimas Rachmatsyah / Jabar Ekspres
0 Komentar

JABAR EKSPRES – Di tengah predikat Bandung sebagai kota dengan tingkat kemacetan terparah di Indonesia, pemerintah kota maupn pusat terus mendorong pembangunan flyover sebagai solusi cepat. Terbaru, flyover Ciroyom dan Nurtanio hadir guna proyeksi pengentasan kemacetan di wilayah masing-masing.

Namun strategi ini kini menuai kritik keras dari pengamat tata kota yang menilai pendekatan tersebut tidak efektif, bahkan berpotensi merusak struktur ruang kota dalam jangka panjang.

Penilaian ini mengemuka setelah sejumlah data mobilitas menunjukkan bahwa kehadiran berbagai flyover di Bandung tidak memberikan perubahan signifikan pada tingkat kelancaran lalu lintas. Justru sebaliknya, beberapa titik baru kini mengalami penumpukan kendaraan akibat pola pergerakan yang terdistorsi oleh keberadaan jembatan layang.

Baca Juga:Sinyal Bangkit di Tengah Bencana, Menkomdigi Pastikan Pemulihan Jaringan Sumatra Capai 90 PersenAmarah Bojan Hodak Tak Terbendung, Paksa Wiliam Marcilio Angkat Kaki dari Persib Bandung

Pengamat Tata Kota Independent, Sujipto, menyebut bahwa pemerintah telah terjebak pada pola pikir usang: ketika jalan macet, maka bangunlah jalan baru. Padahal berbagai riset dunia telah menunjukkan bahwa kebijakan tersebut menghasilkan efek sebaliknya.

“Flyover itu seperti obat pereda nyeri. Ia meredakan sesaat, tapi tidak menyembuhkan. Dalam urban planning, fenomena induced demand sudah terbukti: semakin besar kapasitas jalan, semakin banyak kendaraan yang akan mengisinya,” jelas Sujipto, pada Jabarekspres, Rabu (3/12).

Hal ini terlihat di beberapa proyek flyover Bandung. Ruas yang tampak lancar di atas struktur layang justru menghasilkan “bottleneck” di area turunan. Kendaraan menumpuk karena pertemuan arus yang tidak seimbang, menciptakan kemacetan yang lebih panjang. Keadaan ini menegaskan bahwa flyover tidak menghilangkan masalah, tetapi memindahkannya dan membuatnya lebih kompleks.

Selain dari aspek transportasi, pembangunan flyover secara masif juga mengubah wajah kota. Area di bawah jembatan layang sering kali menjadi ruang mati yang gelap, minim aktivitas, dan rawan dimanfaatkan untuk kegiatan tidak produktif. Kondisi ini turut memperburuk kualitas lingkungan perkotaan.

Sujipto menilai Bandung kehilangan banyak ruang yang seharusnya bisa digunakan untuk interaksi sosial, ruang hijau, atau fasilitas publik.

“Flyover membuat kota berlapis-lapis beton. Pejalan kaki tersingkir, ruang publik hilang, estetika kota terus menurun. Kita mengorbankan kualitas hidup demi percepatan kendaraan pribadi, yang ironisnya tetap saja terjebak macet,” ungkapnya.

0 Komentar