*) Dokter Dito Anurogo, MSc, PhD adalah WWPO Peace Ambassador untuk Indonesia, dokter riset, dosen FKIK Unismuh Makassar, peneliti Inovasi Molekuler Indonesia
JAKARTA – Sumpah Pemuda sering dirayakan dengan puisi perjuangan, arsip hitam-putih, dan jargon persatuan. Namun, bila dilihat dari kacamata biologi dan kedokteran, 28 Oktober 1928 adalah peristiwa medis, momen ketika bangsa ini membangun sistem pertahanan tubuhnya. Sumpah Pemuda menjadi saat ketika “tubuh Indonesia” yang tercerai-berai, mulai bertindak seperti satu organisme imunologis yang sadar ancaman, mengenali diri, mengidentifikasi musuh, dan siap berdikari.
Dalam imunologi, hal pertama yang harus dilakukan tubuh adalah membedakan mana “diri” dan mana “bukan diri”. Sel imun harus tahu mana jaringan sehat yang harus dilindungi, dan mana patogen yang harus dilawan. Sebelum 1928, Nusantara seperti kumpulan organ yang berjalan sendiri-sendiri: Batak, Minang, Jawa, Bugis, Ambon, Sunda, Papua, dan lainnya.
Baca Juga:Menko PMK: Stunting dan TBC jadi Permasalahan Mendasar KesehatanWapres Ikut Cek Kesehatan Gratis di Puskesmas Menteng
Semua kuat, tapi tanpa kesadaran diri kolektif. Akibatnya, kolonialisme masuk, seperti infeksi oportunistik. “Divide et impera” adalah strategi khas patogen cerdas.
Para pemuda 1928 melakukan langkah revolusioner: mereka mendefinisikan identitas bersama. “Satu nusa, satu bangsa, satu bahasa” adalah proses imunologis bangsa, menentukan apa yang harus dipertahankan. Sejak itu, “Indonesia” bukan sekadar ide, melainkan tubuh hidup yang perlu dijaga.
Hampir seabad kemudian, musuh bangsa bukan lagi penjajahan fisik, melainkan fragmentasi: perhatian, tidur, nutrisi, empati, bahkan makna hidup. Tubuh muda Indonesia kini hidup dalam “peradangan tingkat rendah”, inflamasi kronis akibat stres, pola makan buruk, kurang gerak, dan notifikasi digital tanpa henti.
Secara psikologis, mereka hidup dalam mode siaga permanen: takut tertinggal, takut dinilai, takut gagal. Secara sosial, ini tampak dalam kompetisi status, komentar sinis, dan rasa tidak cukup. Gejalanya seperti autoimunitas sosial: generasi muda menyerang dirinya sendiri. Mereka sadar jam tidur rusak, tubuh lelah, pikiran cemas, tapi tetap memaksa diri. Mereka hidup dalam ekosistem yang membuat mereka sakit, sambil menyalahkan diri sendiri.
Burnout bukan sekadar lelah emosional, tetapi penyakit peradangan masyarakat modern. Ia muncul sebagai gastritis, jerawat, nyeri kepala, jantung berdebar, dan lelah kronis. Tubuh sedang berteriak minta istirahat, bukan gagal bertahan.
