Tidak berhenti di sana, Pasal 273 menegaskan sanksi pidana bagi penyelenggara jalan yang lalai, terutama jika kelalaian itu menyebabkan kecelakaan dengan luka atau kematian. Dengan demikian, kematian akibat jalan rusak bukanlah sekadar “musibah,” melainkan peristiwa hukum dan hak asasi manusia yang melibatkan pertanggungjawaban negara.
Kasus di Kota Banjar menyingkap ironi serius. Perbaikan jalan tak kunjung terwujud, sementara korban terus berjatuhan. Keterlambatan atau kegagalan perbaikan dalam konteks ini tidak bisa lagi dianggap sekadar kelalaian administratif. Ia telah berubah menjadi potensi pelanggaran hak hidup. Setiap nyawa yang hilang di jalan itu adalah bukti nyata bahwa negara abai dalam memenuhi kewajiban dasarnya: melindungi warganya dari ancaman yang nyata dan terukur.
Jika ada yang mencoba membela diri dengan alasan keterbatasan anggaran pembangunan, Argumen ini sesungguhnya rapuh. Anggaran adalah instrumen, sedangkan hak hidup adalah prinsip yang tak bisa digadaikan. Jika pemerintah menempatkan proyek lain di atas keselamatan warga, maka itu sama saja dengan menomorduakan hak hidup. Dalam perspektif HAM, negara tidak bisa bersembunyi di balik alasan teknis atau fiskal untuk membenarkan kelalaian yang berakibat hilangnya nyawa manusia.
Baca Juga:Lewat “A Legacy of Love”, Sun Life Indonesia Gelar Bright Talk Spesial PGN Ajak Jurnalis Naik Taksi BBG dalam Roadshow AJP 2025 Teritori Jatimbalinus
Bagi sebuah negara hukum, kegagalan memperbaiki jalan rusak yang mematikan ini bertentangan dengan prinsip perlimdungan hak dasar warga. Negara hukum bukan sekadar menjamin adanya aturan, tetapi juga memastikan perlindungan nyata terhadap warga. Jalan adalah sarana publik, dan keselamatan penggunanya adalah hak. Ketika lubang-lubang jalan dibiarkan terbuka hingga menelan korban, perlindungan hak dasar warga itu telah runtuh. Negara yang seharusnya menjadi pelindung berubah menjadi pihak yang membiarkan ancaman itu terus terjadi.
Dalam konteks pertanggungjawaban, sesungguhnya ada jalur hukum yang bisa ditempuh. Pasal 273 UU LLAJ memberi dasar untuk meminta pertanggungjawaban pidana kepada penyelenggara jalan yang lalai. Artinya, bukan hanya tanggung jawab moral atau politis, melainkan juga konsekuensi hukum yang bisa ditegakkan. Jika warga kehilangan orang terkasih karena kecelakaan di jalan rusak, mereka sejatinya punya hak untuk menuntut negara melalui jalur hukum, baik pidana maupun perdata.
