Ia juga menyoroti minimnya pemeliharaan. “Banyak lampu jalan mati bertahun-tahun tak diperbaiki. Buat apa bangun baru kalau yang lama dibiarkan rusak? Ini menunjukkan kurang seriusnya pemerintah,” kritiknya.
Warga seperti Rina (Antapani) menuntut keadilan dalam distribusi penerangan. “Jalan besar terang benderang, tapi gang kami gelap. Kami juga butuh rasa aman, bukan cuma warga di pusat kota,” katanya.
Ketimpangan ini menimbulkan pertanyaan, apakah anggaran miliaran rupiah hanya untuk pencitraan administratif? Sebelumnya, Kepala Bidang Sarana dan Prasarana Dishub Kota Bandung, Panji Kharismadi, mengklaim proyek ini dirancang untuk menjawab minimnya penerangan dan menarik investasi swasta.
Baca Juga:#KitaBerkebaya: Menghidupkan Warisan Budaya, Menggerakkan Ekonomi Bangsa800 Rombongan Siswa Batalkan Study Tour, Kebijakan Dedi Mulyadi Bikin Ekonomi Wisata Hancur?
“Kami butuh 21.067 unit PJU baru dengan investasi Rp426,8 miliar, termasuk pemeliharaan. Potensi pendapatan iklan Rp10 miliar per tahun dari 13 ruas jalan strategis juga mendukung,” ujarnya, Rabu (23/7) lalu.
Namun, pernyataan ini tak menjawab keluhan warga soal ketimpangan distribusi dan pemeliharaan lampu. Kepala Dishub, Rasdian, menambahkan bahwa proyek ini akan diperluas ke jalan nasional seperti Soekarno-Hatta dan jalan provinsi seperti BKR, dengan teknologi LED untuk efisiensi.
Meski masuk 10 besar proyek investasi nasional di West Java Investment Challenge (WJIC), warga mempertanyakan apakah ambisi ini akan benar-benar menyentuh kebutuhan mereka. “Kalau cuma proyek prestise tanpa dampak nyata, buat apa?” tanya Andi.
Dengan anggaran fantastis dan janji modernisasi, warga Bandung menuntut lebih dari sekadar angka di atas kertas. Penerangan yang merata, pemeliharaan yang konsisten, dan prioritas pada kawasan rawan adalah kebutuhan mendesak. Tanpa itu, “Bandung Caang Utama” hanyalah slogan kosong yang tak mampu menerangi harapan warga. (dam/tur)
