JABAR EKSPRES – Meski kalender sudah menunjukkan awal musim kemarau, justru hujan bulan Juli masih mengguyur deras sebagian besar wilayah Indonesia hingga pekan pertama Juli 2025.
Fenomena cuaca yang tidak biasa ini memicu pertanyaan besar, apa sebenarnya yang menyebabkan langit masih terus menumpahkan air meski seharusnya kering?
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) akhirnya angkat bicara soal kondisi cuaca yang tidak sesuai pola normal ini.
Baca Juga:Bansos PKH BPNT 2025 Sudah Cair? Cek Jadwal Terbaru dan Pantau Status Penerima DisiniOppo A5i Pro Resmi Rilis di Indonesia, Berikut Spesifikasi dan Harganya
Mereka mengungkap bahwa curah hujan tinggi yang masih terjadi hingga pertengahan tahun ini merupakan bagian dari anomali iklim yang sudah terdeteksi sejak Mei 2025.
53 Persen Wilayah Indonesia Masih Diguyur Hujan Bulan Juli 2025
BMKG mencatat sekitar 53 persen wilayah Indonesia mengalami curah hujan di atas normal. Wilayah yang terdampak paling signifikan meliputi:
- Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT)
- Sebagian Kalimantan dan Sulawesi
- Wilayah timur seperti Maluku dan Papua
Hujan deras dengan intensitas ekstrem pun terpantau dalam beberapa hari terakhir.
Pada 2 Juli 2025, Stasiun Geofisika Deli Serdang mencatat curah hujan mencapai 142 mm, sementara Stasiun Meteorologi Rendani di Papua Barat mencatat 103 mm.
Mengapa Hujan Masih Terus Turun di Musim Kemarau?
BMKG menjelaskan bahwa fenomena cuaca ini dipengaruhi oleh berbagai faktor atmosferik yang saling berinteraksi dan memperkuat pembentukan awan hujan. Beberapa di antaranya adalah:
1. Monsun Australia yang Lemah
Monsun yang seharusnya membawa udara kering dari Benua Australia justru menunjukkan kelemahan, sehingga kelembaban udara di wilayah selatan Indonesia tetap tinggi.
2. Aktivitas Madden-Julian Oscillation (MJO)
Meski saat ini MJO berada di fase 2 (Samudra Hindia) yang seharusnya kurang mendukung hujan, gangguan MJO tetap terdeteksi aktif di wilayah timur Indonesia, khususnya di Sulawesi Selatan, Maluku, dan Papua.
3. Gelombang Ekuator
Baca Juga:ASIK! Dapat Saldo DANA Gratis Rp250 Ribu Cuma Isi Survei di Aplikasi iniVideo Viral Andini Permata dan Bocil Diburu Netizen, Ternyata ini Isinya
Gelombang atmosfer seperti Rossby Ekuator, Kelvin, dan gelombang Low Frequency memperkuat konveksi dan pembentukan awan di wilayah seperti Sumatra Timur, Kalimantan Utara, NTT, dan selatan Jawa.
4. Suhu Muka Laut yang Masih Hangat
Kondisi perairan yang masih hangat turut memicu penguapan tinggi, yang berujung pada pembentukan awan hujan secara lebih intensif.
