Lalu, dari mana aplikasi ini membayar penggunanya? Jawabannya adalah dari uang deposit para member lainnya, melalui pembelian paket-paket seperti P1, P2, dan seterusnya. Dengan kata lain, perputaran uang dalam aplikasi ini hanya berasal dari member ke member.
Dalam aplikasi ini, pengguna baru akan diberikan lima tugas gratis. Namun, hal ini sebenarnya hanya digunakan sebagai umpan agar pengguna tergoda untuk melakukan deposit ke dalam aplikasi.
Tugas-tugas yang ditawarkan sangat sederhana. Pengguna hanya diminta memberikan rating, lalu menekan tombol “kirim”. Setelah itu, data akan diproses, dan pengguna langsung mendapatkan imbalan sebesar Rp2.000. Tugas berikutnya pun bisa segera diselesaikan dengan cara yang sama, hingga semua tugas gratis tersebut habis.
Baca Juga:Penyebab BSU Belum Cair Lakukan Ini Agar Dana Cepat Masuk ke Rekening34 Kode Promo tiket.com Juli 2025 Spesial Libur Panjang Hujan Diskon Menarik
Namun, perlu diingat, tidak ada sistem yang benar-benar membayar uang dengan cara semudah ini, kecuali itu adalah penipuan berkedok investasi bodong. Sayangnya, masih banyak orang yang tertipu oleh model seperti ini.
Jika ditelusuri lebih lanjut, nama “OMC” yang digunakan oleh aplikasi ini mencatut nama perusahaan asli, yakni Omnicom Group. Ketika kita mencari informasi “OMC” di Google, akan muncul Omnicom Group, perusahaan global yang benar-benar ada dan memiliki situs resmi di omnicomgroup.com.
Aplikasi OMC mencoba memanfaatkan nama besar Omnicom untuk memberi kesan kredibel. Bahkan di situs LinkedIn resmi Omnicom Group, mereka sudah mengeluarkan pernyataan bahwa tidak memiliki hubungan apa pun dengan entitas bernama OMC yang digunakan dalam aplikasi tersebut. Mereka memperingatkan masyarakat untuk berhati-hati karena ada pihak yang mencoba menggunakan nama Omnicom untuk melakukan penipuan melalui investasi bodong.
Lalu, bagaimana dengan kantor-kantor fisik yang diklaim telah didirikan oleh pihak OMC?
Perlu ditegaskan bahwa keberadaan kantor fisik tidak serta-merta menjadi jaminan bahwa suatu aplikasi atau bisnis itu legal. Model serupa pernah dilakukan oleh aplikasi ponzi lainnya, seperti yang sempat viral sebelumnya, misalnya aplikasi BBH. Aplikasi tersebut juga sempat mendirikan kantor dan menjalankan operasional secara fisik sebelum akhirnya melakukan penipuan.
Ketika skema ponzi semacam ini sudah mencapai titik jenuh, biasanya aplikasi akan berhenti beroperasi (scam), kantor ditutup, dan para “leader” yang selama ini mempromosikan aplikasi tersebut akan menghilang. Ironisnya, setelah kejadian ini, para leader tersebut akan berpura-pura menjadi korban, padahal kenyataannya mereka sudah terlebih dahulu meraup keuntungan dari para member yang mereka rekrut.
