Itulah mengapa redenominasi mengandung risiko besar. Implementasi yang buruk bisa berdampak sangat serius bagi masyarakat. Sebagai alternatif, muncul usulan untuk mencetak pecahan baru seperti Rp500.000 atau bahkan Rp1 juta per lembar. Namun langkah ini juga berisiko menurunkan kepercayaan dunia internasional terhadap rupiah karena jumlah nol yang terlalu banyak.
Bagaimana Jika Sanering Tidak Pernah Terjadi?
Sekarang mari kita bayangkan: Bagaimana jika tiga kebijakan besar di tahun 1950, 1959, dan 1965 tidak pernah dilakukan?
Jawabannya, uang kita akan bernasib seperti mata uang Zimbabwe.
Contohnya, uang Rp100.000 yang saya pegang ini, jika ketiga sanering tersebut tidak pernah terjadi, nilainya setara dengan Rp2 miliar.
Mengapa demikian?
Baca Juga:Aplikasi Rinck Terbongkar Skema Ponzi Berkedok Investasi LegalKomunitas Galbay Pinjol yang Makin Marak di Indonesia, Ramai-Ramai Tidak Mau Bayar
- Pada 1950 (Gunting Syarifuddin), nilai uang dipotong 50% (kali 2).
- Pada 1959, nilai uang dipangkas 90% (kali 10).
- Pada 1965, terjadi pemotongan tiga nol (kali 1.000).
- Jika kita kalikan semuanya: Rp100.000 × 2 × 10 × 1.000 = Rp2.000.000.000
Artinya, uang Rp100.000 hari ini seharusnya bertuliskan “Rp2 miliar” jika tidak pernah dipotong nilai sebelumnya.
Tapi jangan salah mengira Rp2 miliar itu besar. Sebab, dalam konteks tersebut, satu bungkus rokok pun bisa berharga ratusan juta rupiah.
Sejarah ini pernah diceritakan di sekolah. Tapi anehnya, tidak banyak yang ingat. Seolah-olah sejarah ini disensor dan dibungkam dari kesadaran kolektif bangsa.
Maka dari itu, ini sebagai pengingat bahwa kebijakan ekonomi bukan sekadar soal angka dan neraca, tetapi menyangkut kepercayaan, trauma, dan harga diri sebuah bangsa. Jangan sampai kita mengulang kesalahan yang sama hanya karena generasi muda tak tahu bahwa semua ini pernah terjadi sebelumnya.
