Kita hidup dalam sistem ekonomi yang, secara tidak sadar, dibangun di atas trauma masa lalu, ketakutan kolektif, dan angka nol pada rupiah yang dibiarkan terus bertambah tanpa kendali.
Hari ini kita berada di tahun 2025. Secara kasat mata, ekonomi Indonesia tampak tumbuh. Pembangunan terus berjalan, belanja negara meningkat, dan proyek infrastruktur bermunculan di mana-mana. Namun di balik permukaan, mulai muncul tanda-tanda kerapuhan.
Utang publik terus menumpuk, dan untuk menutupi defisit anggaran yang semakin melebar, pemerintah kembali menggunakan pola lama: menjual surat utang ke berbagai pihak. Di saat yang sama, inflasi perlahan meningkat. Harga kebutuhan pokok mulai merangkak naik, biaya hidup melonjak, sementara pendapatan masyarakat tidak bertambah sebanding dengan laju inflasi.
Baca Juga:Aplikasi Rinck Terbongkar Skema Ponzi Berkedok Investasi LegalKomunitas Galbay Pinjol yang Makin Marak di Indonesia, Ramai-Ramai Tidak Mau Bayar
Akibatnya, masyarakat terpaksa mengeluarkan lebih banyak uang hanya untuk bertahan hidup, tanpa peningkatan kualitas hidup yang berarti.
Cerita ini terdengar sangat familiar. Kita pernah mengalami hal serupa pada tahun 1950, 1959, dan 1965. Jika kebijakan pemotongan nilai uang atau sanering kembali terjadi hari ini, bisa dipastikan akan memicu gejolak besar, bahkan bisa menghancurkan negara. Karena pada dasarnya, sanering adalah bentuk pencurian uang rakyat secara sistemik.
Siapa yang tahu seberapa jauh pemerintah bisa bertindak?
Redenominasi Solusi atau Pengulangan Kesalahan Lama?
Gagasan redenominasi, menghapus tiga angka nol dari rupiah, bukan hal baru. Uang Rp100.000 akan menjadi Rp100, Rp50.000 menjadi Rp50, dan seterusnya. Bahkan pecahan Rp1.000 akan berubah menjadi Rp1, dan Rp500 menjadi setara 50 sen.
Tujuannya adalah untuk menyederhanakan sistem keuangan, dan meningkatkan citra rupiah di mata dunia internasional. Tetapi mari kita jujur, apakah kita bisa benar-benar yakin bahwa harga-harga di pasar akan turun mengikuti redenominasi?
Apakah semangkuk bakso yang hari ini harganya Rp20.000 benar-benar akan menjadi Rp20 dan bukan malah Rp25? Apakah harga ikan di pasar yang sebelumnya Rp30.000 per kilogram akan turun menjadi Rp30, atau justru naik menjadi Rp40?
Kita sudah pernah melihat pola ini. Pada 1965, ketika redenominasi dilakukan, harga-harga justru tidak turun sesuai harapan. Para pedagang tidak percaya inflasi benar-benar berakhir, sehingga mereka menaikkan harga sedikit demi sedikit. Hasilnya? Inflasi justru semakin parah.
