Yang lebih menyakitkan adalah efek dominonya yang sangat luas dan merusak.
Nilai uang masyarakat telah dipotong, simpanan dibekukan, namun harga-harga barang tidak ikut turun. Kalaupun ada penurunan harga, tidak sebanding dengan redenominasi yang terjadi. Harga sabun tetap, harga beras tetap, sementara uang di tangan masyarakat tinggal 10% dari sebelumnya.
Bahkan saat ada harga barang yang disebut turun 10%, penurunan itu pun tidak nyata. Mungkin sebelumnya harga naik 20%, lalu turun 10%, artinya tetap saja naik dari harga awal. Kepercayaan terhadap nilai uang pun runtuh. Sementara itu, gaji disesuaikan ke nominal baru yang jauh lebih rendah, namun biaya hidup tetap mengacu pada harga lama.
Baca Juga:Aplikasi Rinck Terbongkar Skema Ponzi Berkedok Investasi LegalKomunitas Galbay Pinjol yang Makin Marak di Indonesia, Ramai-Ramai Tidak Mau Bayar
Akibatnya sangat jelas, daya beli masyarakat hancur total, perekonomian macet, sistem perbankan lumpuh, dan yang paling parah, kepercayaan terhadap rupiah musnah.
Banyak orang mulai menyimpan emas, melakukan hoarding terhadap barang-barang berharga, bahkan memindahkan kekayaan mereka ke luar negeri. Pemerintah saat itu berharap bahwa obligasi ini dapat meningkatkan partisipasi masyarakat di pasar modal. Namun kenyataannya, partisipasi masyarakat tidak berjalan, bursa sepi, dan janji pemerintah untuk membayar surat utang tidak sepenuhnya ditepati hingga hari ini.
Kita sudah membahas peristiwa tahun 1950 dan 1959. Kini, mari kita masuk ke tahun 1965, tahun di mana ekonomi Indonesia benar-benar memasuki kondisi darurat total. Inflasi pada masa itu sangat brutal hingga masyarakat sudah tidak bisa membedakan mana uang kertas dan mana kertas biasa, karena secara nilai, keduanya hampir sama saja.
Harga barang berubah bukan dalam hitungan bulan, tetapi bisa melonjak hanya dalam beberapa hari. Nilai tukar rupiah nyaris tidak ada artinya. Bayangkan saja, uang Rp1.000 pada saat itu bahkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan harian, padahal nominal tersebut seharusnya tergolong besar.
Dalam kondisi yang sangat genting ini, pemerintah kembali mengambil langkah yang telah dilakukan sebelumnya, yakni memotong angka nol di mata uang, atau yang dikenal sebagai redenominasi. Dalam beberapa sumber sejarah, kebijakan ini juga masih disebut sebagai Sunering, tetapi untuk konteks ini, kita sebut saja sebagai redenominasi tahun 1965.
