JABAR EKSPRES – Maraknya peredaran rokok ilegal, yaitu rokok tanpa pita cukai, saat ini menjadi perhatian serius sejumlah pihak, salah satunya pengamat ekonomi dari Universitas Nusa Putra, Muhammad Wahyu Hamijaya.
Menurut Wahyu, peredaran rokok ilegal ini tidak hanya berdampak pada persaingan industri, tetapi juga dapat mengganggu pendapatan negara, baik dari sektor APBN maupun APBD melalui dana bagi hasil cukai tembakau (DBHCHT).
Sebagai contoh, di Provinsi Jawa Barat (Jabar), Wahyu menjelaskan bahwa nilai DBHCHT pada tahun 2023 hanya mencapai sekitar Rp600 miliar. Angka tersebut, menurutnya, memberikan dampak negatif, terutama bagi pelaku industri kecil menengah (IKM).
BACA JUGA: Tingkatkan Pemberdayaan dan Ekonomi Lokal, Desa Cikahuripan Sumedang Fokuskan Ternak Domba
“Belum lagi masalah regulasi terhadap para pelaku usaha tembakau. Oleh karena itu, rokok ilegal harus segera diberantas, khususnya dalam hal penegakan hukum,” ujarnya saat dikonfirmasi, Rabu (4/12).
Wahyu juga meminta pemerintah, termasuk Bea dan Cukai, untuk segera mengambil langkah konkret dalam mengatasi peredaran rokok ilegal. Ia menekankan bahwa hingga saat ini belum ada tindakan yang cukup tegas terkait penegakan hukum terhadap peredaran rokok ilegal, khususnya bagi para pelaku IKM.
“Ini harus ditegakkan, agar pemerintah benar-benar mengambil langkah konkret dalam penindakan. Karena hingga kini, diduga peredaran rokok ilegal justru menjadi ladang bagi oknum-oknum penegak hukum di sektor tembakau,” ungkapnya.
“Jika masalah ini tidak segera diatasi, maka industri tembakau akan terpukul dan ketimpangan bisnis akan semakin parah,” lanjutnya.
Sebelumnya, Kanwil Bea dan Cukai Jabar mengakui bahwa maraknya peredaran rokok ilegal berdampak pada penerimaan cukai, khususnya dari sektor tembakau.
Kepala Seksi Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jabar, Meirna Nurdini, menyampaikan bahwa penerimaan cukai dari sektor tembakau di Jawa Barat tahun ini baru terealisasi sekitar Rp24 triliun, sementara target yang ditetapkan sebesar Rp36 triliun.
“Mungkin sampai akhir Desember 2024, capaian kami hanya sekitar Rp28 triliun. Jadi, ada kekurangan sekitar Rp8 triliun. Dalam tiga tahun terakhir, penerimaan cukai rokok terus menurun,” tuturnya.