Sulyanati Soroti Mimpi Kota Banjar yang Belum Terwujud

JABAR EKSPRES – Kota Banjar, yang telah berstatus sebagai daerah otonom, lahir dari berbagai harapan dan mimpi, terutama untuk mencapai kesejahteraan bagi seluruh warganya.

Sejak resmi berdiri pada tahun 2003, Banjar muncul sebagai daerah baru dalam konteks desentralisasi dan otonomi daerah yang sedang bergulir, sebagai respons terhadap tuntutan reformasi yang menginginkan penguatan otonomi daerah berdasarkan UU No 22 Tahun 1999.

Dalam prosesnya, Banjar tidak hanya menerima penyerahan kewenangan, tetapi juga mendapatkan pelimpahan sumber daya yang diperlukan untuk membangun infrastruktur dasar, pendidikan, dan akses terhadap fasilitas kesehatan. Semua ini harus dipastikan tersedia untuk mendukung kehidupan masyarakat.

Kini, setelah 21 tahun perjalanan Kota Banjar, banyak kemajuan yang telah diraih. Namun, tantangan dalam pemerintahan tidak akan pernah usai. Prioritas pemerintahan saat ini tidak hanya terfokus pada urusan dasar, tetapi juga menghadapi tantangan yang semakin kompleks. Ekspektasi masyarakat pun semakin tinggi.

BACA JUGA: Jadwal SIM Keliling Kota Bandung Saat Ini (Periode: 25 November – 1 Desember 2024)

“Meskipun kehidupan warga Banjar saat ini lebih baik dibandingkan sebelum otonomi, cara kita mengukur kemajuan Kota Banjar saat ini perlu diperbarui. Kemajuan harus dilihat dalam konteks persaingan dengan daerah lain di Jawa Barat, untuk mengetahui seberapa besar daya saing Banjar,” ujar Eksponen Forum Peningkatan Status Kota Banjar, sekaligus Pembina Yayasan Bantu Banjar, Sulyanati, Senin (25/11).

Data statistik dari Pemprov Jabar pada tahun 2024 menunjukkan bahwa Banjar memiliki kontribusi PDRB terkecil di Jawa Barat, yaitu 0,20%. Angka ini mencerminkan bahwa ekonomi Banjar kalah bersaing dibandingkan dengan daerah lain.

Agenda pembangunan saat ini adalah tantangan bagi Banjar untuk “naik kelas”. Sebagaimana diungkapkan oleh Eka Santosa, Ketua DPRD Jawa Barat periode 1999-2004, bahwa mimpi besar para pendiri Kota Banjar adalah agar suatu saat Banjar sejajar dengan daerah lain, dalam arti bahwa warga Banjar memiliki daya saing yang setara, bahkan lebih baik.

“Kenangan akan pernyataan Gubernur Jawa Barat, R Nuriana, pada tahun 2003 yang mengatakan, ‘Banjar teh geuning leutik, sagede pelok. Bakal berhasil moal?’ menjadi pengingat bahwa para pejuang Banjar percaya bahwa semakin kecil, semakin cepat mencapai keberhasilan. Prinsip ini menjadi dasar mengapa Banjar harus menjadi daerah otonom, karena dengan ukuran yang lebih kecil, tingkat kesejahteraan dapat lebih cepat dicapai,” jelasnya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan