Dari mulai syal, sweater, gantungan kunci, hingga hasil-hasil produksi kain rajut lain olahan limbah industri rajut. “Ada juga pernak pernik yang dikerjakan oleh penyandang disabilitas. Berupa gantungan kunci rajutan. Pembuatnya dari kelompok disabilitas yang tergabung dalam Merakit,” jelasnya.
Ada cerita-cerita menarik lainnya tatkala Wawan baru memulai sebagai tour guide. Seperti halnya mulai meningkatkan wawasan perihal laku hidup seorang pemandu wisata, hingga belajar kemampuan Bahasa Inggris tingkat dasar. Keduanya itu gencar dilakukan putra daerah Binong tersebut untuk menunjang geliat di kampung wisata rajutnya.
Dia menyadari bahwa pada masa mendatang bakal lebih banyak lagi wisatawan mancanegara. Jumlahnya bukan hanya dapat terhitung jari seperti saat ini. Sejumlah persiapan untuk menyongsong momentum itu, yakni dengan meningkatkan kapasitas sebagai tour guide, pada akhirnya dilakukan seorang Wawan dengan senang hati.
“Menjadi tour guide, ternyata dapat ilmu baru. Saya juga merasa bangga sendiri. Mungkin sering pula lakukan kesalahan dan miskomunikasi. Namun itu adalah pembelajaran buat berikutnya. Alhamdulillah punya sumber penghasilan lain. Rezeki lebih dan tergantikan. Tour guide, dunia yang menarik,” ucapnya dengan simpul senyum yang amat lebar.
Kenapa Kampung Rajut?
Beberapa tahun ke belakang, tepatnya kurun waktu pada 2021 hingga 2022, saat pandemi Covid-19 merebak ke Indonesia, kawasan sentra industri Binong terkena dampak yang signifikan. Rugi besar-besaran dialami para perajin kain. Ongkos dan pendapatan tidak lagi berkompromi. Para pemuda Kampung Binong lantas mulai mengambil kendali, seolah memutar otak dan mencari cara bertahan lebih lama lagi.
“Karena pasca Covid-19, ekonomi drop semua. Khususnya bidang ekonomi dari tekstil. Rajut mah kayak bukan sandang pangan papan, tapi rajut saat ini identiknya bukan untuk orang sakit. Masuk ke semua generasi. Jadi muncullah kami membuat paket wisata,” kata Ketua Kampung Rajut Binong, Eka Rahmat Jaya.