JABAR EKSPRES – Tupperware, merek ikonik wadah makanan plastik yang dikenal luas di kalangan ibu rumah tangga kini terancam bangkrut.
Setelah hampir bangkrut tahun lalu, Tupperware melakukan restrukturisasi dan mencari pendanaan darurat.
Perusahaan yang didirikan oleh ahli kimia Earl Tupper 77 tahun lalu ini telah mengalami penurunan kapitalisasi pasar hingga 95% dalam tiga tahun terakhir.
Baca juga : Penyebab Tupperware Terancam Bangkrut Karena 3 Faktor Ini
Salah satu faktor utamanya adalah pernyataan dari manajemen pada awal tahun lalu yang memberi peringatan bahwa ada “keraguan substansial” tentang kelangsungan usaha perusahaan. Saham Tupperware pun anjlok signifikan.
Kondisi Terkini Tupperware
Dalam laporan terbarunya kepada Komisi Sekuritas dan Bursa Amerika Serikat (Securities and Exchange Commission/SEC), Tupperware menyatakan bahwa mereka belum mampu melaporkan kinerja keuangan kuartalan terbaru dan tidak dapat mengajukan laporan tahunan 2023.
Terakhir kali, perusahaan ini melaporkan kinerjanya pada kuartal ketiga 2023, yang mencerminkan tantangan likuiditas yang masih sangat signifikan.
Manajemen Tupperware juga menyebut adanya masalah di departemen akuntansi, termasuk pengunduran diri Chief Financial Officer (CFO), yang menyebabkan kekurangan sumber daya serta keahlian, dan hilangnya kesinambungan dalam pengelolaan keuangan perusahaan.
Di tengah krisis ini, Tupperware fokus pada dua hal: mencari pendanaan jangka pendek dan merumuskan strategi bisnis baru.
Perusahaan berhasil mendapatkan pinjaman jembatan (bridge loan) sebesar US$ 8 juta dari GLAS USA LLC pada 12 Agustus 2024, dengan US$ 4 juta sudah ditarik.
Namun, sisa pinjaman masih bergantung pada evaluasi lebih lanjut dari pemberi pinjaman.
Meski begitu, Tupperware masih terbebani oleh utang yang mencapai US$ 777 juta (sekitar Rp 12 triliun) hingga akhir September 2023.
Selain mencari pendanaan tambahan, perusahaan juga mempertimbangkan untuk menjual beberapa aset real estatnya guna menambah likuiditas.
Perusahaan ini sebelumnya mendapatkan keuntungan besar saat pandemi, karena banyak orang yang beraktivitas di rumah.
Namun, setelah pandemi berakhir, Tupperware mulai kehilangan daya saing terhadap pesaing lain yang lebih agresif dalam mempromosikan produk kepada generasi muda melalui platform seperti TikTok dan Instagram.
Manajemen Tupperware bahkan sempat mempertimbangkan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) dan menjual sebagian portofolio real estatnya guna menghemat biaya.