Telegram juga merupakan salah satu dari sedikit platform yang memungkinkan warga Rusia mengakses informasi tanpa filter terkait konflik tersebut, terutama setelah Kremlin memperketat kontrol media pasca invasi besar-besaran.
Namun, enkripsi yang dianggap tidak dapat dipecahkan ini telah menjadikan Telegram sebagai alat propaganda bagi kelompok-kelompok radikal, baik di Rusia maupun di seluruh dunia.
Media Eropa Tengah, VSquare, melaporkan bahwa Telegram kini menjadi alat utama propaganda bagi kelompok ekstremis, termasuk sayap kiri dan kanan radikal di Rusia, QAnon di AS, serta penganut teori konspirasi lainnya.
Platform ini bahkan disebut-sebut sebagai ekosistem yang ideal untuk proses radikalisasi.
Pavel Durov, yang lahir di Rusia, mendirikan Telegram setelah meninggalkan negaranya pada tahun 2014 karena menolak memenuhi permintaan pemerintah Rusia untuk menutup komunitas oposisi di platform media sosial VKontakte (VK) miliknya.
Saat ini, Durov diketahui tinggal di Dubai, tempat Telegram berkantor pusat, dan memiliki kewarganegaraan Prancis serta Uni Emirat Arab (UEA).
Baca juga : Tips Mendapatkan Uang dari Bot Telegram, Penghasilan Sampingan yang Menjanjikan!
Ia telah mencoba tinggal di berbagai kota dunia, seperti Berlin, London, Singapura, dan San Francisco, sebelum akhirnya memilih Dubai yang ia puji karena lingkungan bisnisnya yang mendukung dan “kenetralannya.”
Di UEA, Telegram menghadapi sedikit tekanan terkait moderasi konten dibandingkan dengan di negara-negara Barat yang semakin memperketat pengawasan terhadap ujaran kebencian, disinformasi, serta penyebaran konten ilegal termasuk gambar pelecehan anak.
Namun, dengan ditangkap-nya CEO ini, masa depan Telegram dan tantangan yang dihadapinya akan menjadi sorotan dunia.