Bongkar kotak suara atau C1, kata Rahmat, hanya bisa dilakukan jika ada kasus temuan hukum. Dan pihak yang berhak membukanya hanya Mahkamah Konstitusi (MK).
“Mereka berani membuat catatan hasil temuan data C1 hasil sanding D1 tanpa dihadiri KPU Kota Bandung dan Bawaslu Kota Bandung. Ini patut diwaspadai, KPU Jabar tidak melakukan sesuai dengan kaedah PKPU Nomor 10 2024,” dia menambahkan.
Dengan berbagai persoalan yang terjadi, pihaknya mendesak KPU Jabar menaati PKPU. Sementara terkait isi penggelembungan suara sudah dijawab oleh KPU Kota Bandung.
“Jangan lagi lah membuat manuver dan narasi-narasi yang lain. KPU yang sibuk mencari-cari kesalahan padahal di Bawaslu sendiri sudah selesai,” kata Ramhat.
Sementara Dosen Administrasi Publik UIN SGD Bandung, Khaerul Umam menilai, KPU Jabar terlalu lambat dalam melakukan rekapitulasi di level provisi. Komisi Pemilihan Umum Jabar pun bisa dianggap tidak cepat tanggap dalam konteks pelayanan publik dan kebijakan publik terkait penyelenggaraan pemilu.
“Istilahnya itu tidak agile. Penyelenggara pemilu di level TPS sampai level nasional itu dituntut agile karena ekspektasi dan antusias masyarakat cukup tinggi. Ketika masyarakat kecewa, bisa berbuntut pada ketidak percayaan pada penyelenggara pemilu,” kata Umam.
KPU Jabar dan para komisionernya, lanjut Umam, perlu memperhatikan dan mempertimbangkan berbagai hal. Apalagi beredar informasi jika KPU Jabar terkesan tidak on time pada beberapa agenda.
“Jangan alasannya karena ada salah satu kota yang belum terekap. Kalau memang ada masalah, harusnya sudah diantisipasi dan dipercepat penyelesaiannya. Jangan ditunda-tunda,” pungkas Umam. (bbs)