JAKARTA – Anggota Komisi I DPR RI Mayjen TNI (p) TB Hasanuddin angkat bicara terkait dengan aspirasi sejumlah organisasi masyarakat sipil untuk pemakzulan Presiden Joko Widodo seiring dengan pelbagai dugaan kecurangan usai hitung cepat hasil pemilihan presiden atau Pilpres 2024.
Beberapa diantaranya Petisi 100 Penegak Daulat Rakyat, Forum Komunikasi Purnawirawan TNI-Polri untuk Perubahan dan Persatuan (FKP3) serta sejumlah organ mahasiswa di tanah air.
Terkait hal itu, Hasanuddin menegaskan, DPR dan MPR bisa saja mengakomodir aspirasi tersebut dengan menggunakan hak angket untuk melengserkan Jokowi.
“Proses pemakzulan presiden memang tidak sederhana, namun tetap bisa dilakukan. DPR dapat mengusulkan hak angket pemakzulan presiden,” kata TB Hasanuddin kepada awak media, Rabu 21 Februari 2024.
Hasanuddin menambahkan, menurut Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014, usulan akan menjadi hak angket DPR apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna yang dihadiri lebih dari separuh jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari setengah jumlah anggota DPR yang hadir.
Ia menambahkan, bila dilakukan hitung-hitungan, setidaknya ada 5 partai politik yang bisa saja ingin mengusulkan hak angket pemakzukan Jokowi lantaran merasa dicurangi dalam kontestasi Pilpres 2024.
Parpol ini berasal dari PDI Perjuangan yang memiliki 128 kursi di DPR, Partai Persatuan Pembangunan 19 kursi, Partai Nasdem 59 kursi, PKB 58 kursi dan PKS 50 kursi yang bila ditotal mencapai 314 suara.
Sedangkan, imbuhnya, partai koalisi pro Jokowi diantaranya Gerindra 78 kursi, Partai Golkar 85 kursi, PAN 44 kursi dan Demokrat 54 kursi yang jumlahnya 261 suara.
“Jumlah anggota DPR saat ini 575 orang. Bisa dikatakan dengan situasi politik saat ini, ada 314 suara di DPR yang ingin pemakzulan Jokowi dan hanya 261 suara pro Jokowi. Bila merujuk UU 17 tahun 2014, dimana keputusan yang diambil harus lebih dari setengah jumlah anggota DPR yang hadir, maka 314 suara sudah sangat mencukupi,” ujarnya.
Hasanuddin menambahkan ada 3 alasan pemakzulan atau pemberhentian seorang presiden dapat dilakukan dari jabatannya yakni melakukan pelanggaran hukum atau pidana, perbuatan tercela dan tak mampu lagi menjadi presiden.
Ia menambahkan, indikasi presiden cawe-cawe dalam pemilu itu mungkin dapat dianggap sebagai perbuatan pidana atau perbuatan tercela.