JABAR EKSPRES – Pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un, dalam pidatonya di hadapan majelis rakyat Korea Utara, mengumumkan perubahan pada konstitusi untuk menganggap Korea Selatan sebagai “negara musuh nomor satu”.
Kim Jong Un mengklaim bahwa ia tidak lagi percaya akan terjadinya penyatuan antara kedua negara dan menuduh Korea Selatan berusaha untuk mendorong perubahan rezim di Korea Utara secara diam-diam. Pernyataan ini mencerminkan hubungan yang semakin memburuk antara kedua Korea.
Kim Jong Un menegaskan bahwa Korea Utara tidak ingin perang, namun tidak akan menghindarinya jika terjadi. Selain itu, pemerintah Korea Utara juga akan menutup tiga badan yang mengawasi unifikasi dan pariwisata antar-Korea: Komite Reunifikasi Damai, Biro Kerja Sama Ekonomi Nasional, dan Administrasi Pariwisata Internasional Gunung Kumgang. Keputusan ini diambil karena kedua negara saat ini berada dalam konfrontasi akut di semenanjung Korea.
Baca Juga: Houthi Yaman Bersumpah Akan Lakukan Balas Dendam Terhadap AS-Inggris
Pemimpin Korea Utara tersebut menyatakan bahwa penyatuan kembali Korea tidak akan pernah tercapai dengan Republik Korea, yang merupakan nama resmi Korea Selatan.
Pernyataan Kim ini menuai kecaman dari Presiden Korea Selatan, Yoon Suk Yeol, yang menyebut Pyongyang sebagai “anti-nasional” karena memberi label Korea Selatan sebagai negara yang tidak bersahabat.
Yoon juga mengutuk peluncuran rudal dan latihan tembak-menembak Korea Utara di dekat perbatasan kedua negara yang tegang dan mengingatkan bahwa provokasi akan mendapatkan pembalasan yang berlipat ganda.
Perubahan sikap resmi yang dinyatakan oleh Kim dalam pidatonya menandai pergeseran dari kebijakan selama beberapa dekade yang melihat rekonsiliasi dan penyatuan sebagai tujuan akhir, meskipun ketegangan di semenanjung Korea sering meningkat.
Beberapa analis percaya bahwa dengan mengklasifikasikan Korea Selatan sebagai musuh utama, Korea Utara mungkin sedang mencoba untuk membenarkan penggunaan senjata nuklir dalam perang di masa depan.
Kim menekankan bahwa perang akan “menghancurkan” Korea Selatan dan memberikan kekalahan yang “tak terbayangkan” kepada sekutu terbesarnya, Amerika Serikat.
Dalam sebuah laporan yang diterbitkan oleh proyek 38 North yang berbasis di AS, Robert Carlin, mantan pejabat departemen luar negeri, dan Siegfried Hecker, seorang ilmuwan nuklir, menyatakan bahwa situasi di semenanjung Korea saat ini lebih berbahaya daripada sebelumnya sejak dimulainya perang Korea pada tahun 1950.