Simposium Pusat Perubahan Iklim ITB 2023: Refleksi Tata Kelola Iklim dalam Transisi Energi yang Berkeadilan di Indonesia Pasca COP28 UNFCCC

“Tahun 2020-2021, insentif pengembang Energi Baru Terbarukan belum besar, sehingga kurang ketertarikanya untuk dikembangkan oleh pihak-pihak terkait,” ujarnya.

Lebih lanjut, Dr. Niken Prilandita, sebagai tim Pusat Perubahan Iklim ITB menyampaikan, bahwa kebijakan iklim memiliki panggung depan dan belakang karena adanya dualisme, karena adanya penggusaha yang menjadi penguasa.

“Dokumen ENDC menunjukkan peningkatan pada target NDC, yaitu target mitigasi perubahan iklim dengan sumber daya sendiri dari 29 persen meningkat menjadi 31,89 persen, sementara dengan dukungan internasional dari 41 persen meningkat ke 43,20 persen pada ENDC. Di Indonesia, sektor energi adalah sektor emisi gas rumah kaca terbesar kedua setelah sektor FOLU, menyumbang 34 persen dari total emisi pada 2019,” tuturnya.

BACA JUGA: Kota Bandung Mulai ‘Hujan’, Pemkot Siapkan Trik Jitu Atasi Banjir

Pemerintah Indonesia juga menetapkan target untuk bauran energi baru terbarukan (New Renewable Energy mix) pada tahun 2025 setidaknya 23 persen dan 31 persen pada tahun 2050. Namun, pembangunan energi terbarukan tetap lambat dan jauh di bawah apa yang diperlukan untuk mencapai target 23 persen energi mix pada tahun 2025.

Jika tidak ada upaya dekarbonisasi yang dilakukan di Indonesia, emisi dari sektor energi diperkirakan akan menjadi emiten terbesar pada tahun 2030, sementara sektor FOLU akan berkurang secara bertahap.

Studi SNAPFI ini berfokus pada model tata kelola iklim di sektor energi Indonesia. Dari studi tahun pertama (2020), analisis terhadap pemangku kepentingan menunjukkan bahwa KLHK dan Bappenas adalah dua aktor utama dalam manajemen perubahan iklim di Indonesia.

ESDM juga menjadi pemain penting, mengingat sektor energi sebagai kontributor terbesar kedua untuk tujuan NDC. Di sektor energi tersebut, DEN menjadi instansi pusat dalam mengawasi dan mengkoordinasi departemen terkait dalam implementasi NDC.

Analisis pemangku kepentingan juga menunjukkan bahwa tata kelola iklim di sektor energi memiliki banyak pemangkar yang terlibat dari berbagai sektor dan perspektif. Kompleksitas vertikal dan horizontal dalam tata kelola perubahan iklim dan energi di Indonesia, bersama-sama dengan kompleksitas sektoral, dapat digambarkan menjadi segitiga antara tata kelola iklim, tata kelola energi, dan pendanaan iklim yang membutuhkan pengaturan pengelolaan energi untuk memecahkan kompleksitas ini.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan