JABAR EKSPRES – La Luna, sebuah film komedi yang tiba-tiba meraih popularitas sebagai penghibur yang mengocok perut sejak awal cerita, ternyata menyimpan lebih dari sekadar tawa. Di balik komedinya, film ini menyentuh isu-isu sosial dengan satir yang begitu dekat dengan realitas kita.
Dalam kisahnya, La Luna tidak melibatkan adegan slasher atau kekejaman yang menggetarkan. Namun, daya tariknya terletak pada komedinya yang berani menyentuh berbagai isu sosial secara blak-blakan dan sadis.
Cerita dimulai di Kampung Bras Basah, sebuah desa yang sunyi dan terisolasi dari perubahan zaman. Penulis dan sutradara, M. Raihan Halim, dengan tegas memperlihatkan bagaimana warga desa dituntut untuk mengikuti nilai-nilai agama secara kaku, termasuk aturan yang membatasi hak dan penyensoran ketat.
Karakter utama, Datuk Hassan, seorang kepala desa konservatif yang membenci perubahan, menjadi simbol penguasa yang memanfaatkan agama sebagai alat untuk menindas dan memenuhi ambisinya. Dalam perjalanan cerita, otoritarianisme Hassan bersinggungan dengan Hanie, pemilik toko pakaian dalam La Luna, menciptakan konflik yang menghibur namun penuh makna.
La Luna tidak hanya menjadi drama politik desa yang intens; sebaliknya, film ini mengangkat isu-isu tersebut dengan sentuhan gelak tawa. Raihan berhasil memanfaatkan potensi berbagai elemen cerita, seperti konflik antargenerasi, aktivitas desa, dan eksistensi toko La Luna itu sendiri.
Bit komedi yang dihadirkan tidak hanya sekadar menghibur, tetapi juga memiliki muatan dewasa tanpa perlu resort ke visual yang eksplisit. Raihan sepertinya memahami audiensnya yang berasal dari Timur yang masih serumpun, sehingga ia menjaga keseimbangan dalam menggambarkan komedi dewasa.
Komedi juga menjadi senjata ampuh dalam menyinggung isu agama yang seringkali sensitif. La Luna berhasil mengubah persoalan-persoalan yang biasanya dianggap tabu menjadi hiburan komedi yang mudah dicerna, sambil tetap relevan dengan budaya agama masyarakat Indonesia.
Film ini menghadirkan nuansa konservatif yang mungkin terasa ekstrem jika dibandingkan dengan masyarakat Indonesia, tetapi tetap memiliki keresahan yang valid terkait dengan kondisi sosial dan agama di negeri ini. Selain itu, La Luna juga memberi sorotan pada isu perempuan, menyoroti dampak budaya kolot yang masih melekat.