JABAR EKSPRES – Dalam pidato baru-baru ini di hadapan Majelis Umum PBB, perwakilan Korea Utara menuduh Amerika Serikat dan Korea Selatan secara berbahaya mendorong semenanjung Korea lebih dekat ke jurang perang nuklir.
Utusan tersebut menekankan bahwa situasi ini membuat Korea Utara tidak memiliki pilihan lain selain mengintensifkan upayanya untuk meningkatkan kemampuan pertahanan diri.
“Tahun 2023 tercatat sebagai tahun yang sangat berbahaya. Semenanjung Korea berada dalam situasi yang sangat berbahaya dengan bahaya pecahnya perang nuklir,” ujar Duta Besar Kim Song pada hari terakhir pertemuan tahunan para pemimpin dunia di PBB.
“Mengingat situasi yang ada, DPRK (Korea Utara) sangat dibutuhkan untuk lebih mempercepat pembangunan kemampuan pertahanan diri untuk mempertahankan diri tanpa bisa ditembus,” kata Kim kepada Majelis Umum yang beranggotakan 193 negara pada Selasa.
BACA JUGA: Kim Jong-un Sampaikan Undangan bagi Vladimir Putin untuk Mengunjungi Korea Utara
Selama 18 bulan terakhir, Korea Utara telah melakukan serangkaian uji coba rudal balistik, dengan jumlah puluhan.
Amerika Serikat terus menerus memperingatkan bahwa Pyongyang berada di ambang uji coba nuklir yang ketujuh.
Pyongyang berpendapat bahwa uji coba rudal balistiknya dilakukan dalam rangka mempertahankan diri, yang bertujuan untuk menjaga kedaulatannya dan melindungi kepentingan keamanannya dari ancaman militer.
“DPRK tetap teguh dan tidak berubah dalam tekadnya untuk mempertahankan kedaulatan nasional, kepentingan keamanan, dan kesejahteraan rakyat dengan tegas terhadap ancaman permusuhan dari luar,” kata Kim.
BACA JUGA: Korea Utara Luncurkan Kapal Selam Bersenjata Nuklir Taktis, Siap Lawan Amerika Serikat dan Sekutu?
Secara resmi diakui sebagai Republik Demokratik Rakyat Korea (DPRK), Korea Utara telah menghadapi sanksi yang ketat dari Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai tanggapan atas inisiatif rudal dan nuklirnya sejak tahun 2006.
Sanksi-sanksi ini telah mengalami penguatan secara bertahap selama bertahun-tahun.
Namun demikian, Dewan Keamanan yang beranggotakan 15 negara ini telah bergulat dengan perpecahan internal tentang bagaimana menangani masalah Korea Utara selama beberapa tahun.
Rusia dan Cina, yang memiliki hak veto bersama dengan Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis, telah menyuarakan penolakan terhadap sanksi lebih lanjut, dan menganjurkan pelonggaran sanksi tersebut.