Riwayat-riwayat ini semua membuktikan, bahwa gaji dalam kehidupan umat Islam bukan sesuatu yang baru, akan tetapi, selama 14 abad lamanya tidak pernah ada satu pun ulama yang memfatwakan adanya zakat profesi atau gaji.
Ini membuktikan bahwa zakat profesi tidak ada. Yang ada hanyalah zakat mal, yang harus memenuhi dua syarat, yaitu hartanya mencapai nishab dan telah berlalu satu haul (1 tahun).
Oleh karena itu, ulama ahlul-ijtihad yang ada pada zaman kita mengingkari pendapat ini. Salah satunya ialah Syaikh Bin Bâz rahimahullâh, beliau berkata:
“Zakat gaji yang berupa uang, perlu diperinci, bila gaji telah ia terima, lalu berlalu satu tahun dan telah mencapai satu nishab, maka wajib dizakati. Adapun bila gajinya kurang dari satu nishab, atau belum berlalu satu tahun, bahkan ia belanjakan sebelumnya, maka tidak wajib dizakati”.
Fatwa serupa juga telah diedarkan oleh Anggota Tetap Komite Fatwa Kerajaan Saudi Arabia, dan berikut ini fatwanya:
“Sebagaimana telah diketahui bersama, bahwa di antara harta yang wajib dizakati adalah emas dan perak (mata uang). Dan di antara syarat wajibnya zakat pada emas dan perak (uang) adalah berlalunya satu tahun sejak kepemilikan uang tersebut.
Mengingat hal itu, maka zakat diwajibkan pada gaji pegawai yang berhasil ditabungkan dan telah mencapai satu nishab, baik gaji itu sendiri telah mencapai satu nishab atau dengan digabungkan dengan uangnya yang lain dan telah berlalu satu tahun. Tidak dibenarkan untuk menyamakan gaji dengan hasil bumi, karena persyaratan haul (berlalu satu tahun sejak kepemilikan uang) telah ditetapkan dalam dalil, sehingga tidak boleh ada Qiyas. Berdasarkan itu semua, maka zakat tidak wajib pada tabungan gaji pegawai hingga telah berlalu satu tahun (haul)”.
Sebagai penutup tulisan singkat ini, saya mengajak pembaca untuk senantiasa merenungkan janji Rasûlullâh Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam berikut:
Tidaklah shadaqah itu akan mengurangi harta kekayaan.
(HR. Muslim)
Semoga pemaparan singkat di atas dapat membantu pembaca memahami metode penghitungan zakat maal yang benar menurut syari’at Islam. Wallahu Ta’ala A’lam bish-Shawâb.