Tidak mengherankan jika setiap saat, handphone kita dibanjiri berbagai informasi, berita, foto atau video yang sangat beragam. Baik yang sifatnya dinas terkait pekerjaan, berita biasa ataupun hanya sekadar lelucon atau bahkan berita, gambar dan video hoaks yang bisa berimplikasi pada masalah hukum.
Disinilah platform dan mindset pikiran akan ‘bermain’, sehingga tidak sedikit yang terseret menjadi sebuah keyakinan dan kebenaran. Bahkan Joseph Goebbels menyatakan bahwa “kebohongan yang diceritakan satu kali adalah kebohongan, tetapi kebohongan yang diceritakan ribuan kali akan menjadi kebenaran“.
Fenomena Post-Truth pada awalnya dimanfaatkan untuk kepentingan politik, tetapi kemudian berkembang ke segala lini, isu, dan agenda.
Baik post truth maupun hoax, biasanya akan dibungkus dengan tajuk berita yang bombastis, abai terhadap data dan fakta, bahkan mungkin memakai data palsu yang tidak jelas kebenarannya.
Belum lagi jika ada akun-akun bayaran para buzzer, yang memang sengaja mengangkat topik itu terus menerus atau berkomentar tentang berita itu yang mengakibatkan pengguna medsos menjadi bingung bahkan percaya akan “kebenaran” berita hoax tersebut.
Kondisi ini diperparah dengan kondisi sebagian publik yang ‘belum bijak’ dan ikut terpengaruh untuk tidak sekadar memercayai berita bohong itu, namun juga dengan secara sukarela mendistribusikannya melalui akun-akun mereka. Dengan kekuatan pengguna medsos, maka tidak mustahil jika berita-berita bohong tersebut akan massif beredar di dunia maya.
BACA JUGA: Kriminalisasi Tupoksi
Beberapa permasalahan sosial ekonomi yang bermuara pada hukum dalam kondisi seperti itu, seperti post-truth, flexing (pamer kemewahan), dan digital marketing yang tidak bertanggung jawab. Tujuannya target konsumen yang kurang teliti dan mudah tergelincir.
Hal ini bisa tampak dari kasus – kasus yang pernah mencuat, seperti Binomo, dan Pro, Robot Trading, Pinjol (pinjaman sistem daring yang tidak terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan), serta masih banyak lagi kasus lainnya. Bahkan pelakunya terkadang memanfaatkan para pesohor sebagai inluencer dan atau endorser.
Oleh karena itu, dalam konteks marketing pun telah terjadi pergeseran model, dari model AIDA ke model AISAS. Pola pemasaran konvensional model AIDA (attention, interes, desire, dan action) telah bertransformasi menjadi AISAS (attention, interes, search, action, dan share). Elemen ”search dan share” merupakan pembeda yang rawan dan bisa direkayasa ke arah pengelabuan dengan imbuhan tampilan kemewahan yang berlebihan dan pembingungan ke arah post-truth.