JABAR EKSPRES – Langkah tegas datang dari junta militer Myanmar yang mengusir diplomat utama Timor Leste setelah Presiden Jose Ramos Horta menjalin pertemuan dengan Pemerintah Persatuan Nasional (NUG), entitas pemerintah tandingan anti-junta, di Dili pada bulan Juli yang lalu.
Kementerian Luar Negeri Myanmar di bawah kepemimpinan junta dengan keras mengutuk apa yang mereka sebut sebagai “tindakan tak bertanggung jawab” yang dilakukan oleh Timor Leste. Mereka juga mengeluarkan ultimatum kepada kuasa usaha negara Timor Leste di Yangon, meminta mereka untuk “mengosongkan” wilayah Myanmar paling lambat pada tanggal 1 September 2023.
Dalam pernyataan resmi, Kemlu junta mengklaim bahwa Timor Leste telah memberikan dukungan kepada “kelompok teroris” yang terlibat dalam pelanggaran di Myanmar. Pernyataan ini diberitakan oleh AFP pada hari Minggu (28/8).
Baca Juga: Topan Saola Akan Terjang China, Otoritas Tengah Bersiap
Respon keras juga datang dari Timor Leste. Mereka mengutuk keras tindakan pengusiran tersebut dan menegaskan komitmennya dalam mendukung upaya pemulihan demokrasi di Myanmar. Pemerintah Timor Leste meminta junta Myanmar untuk menghormati hak asasi manusia dan mencari solusi damai dalam menghadapi krisis yang sedang berlangsung.
Sementara itu, perwakilan NUG yang berbasis di Republik Ceko, Linn Thant, ikut merespons kejadian ini dengan mengutuk langkah junta. Ia juga menegaskan bahwa tidak ada alasan yang dapat dibenarkan untuk tindakan pengusiran diplomat Timor Leste.
Harapannya pada bulan-bulan mendatang, Timor Leste akan menjadi anggota ke-11 dalam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN). Namun, pada awal Agustus, Perdana Menteri Xanana Gusmao mengemukakan bahwa jika upaya untuk membujuk junta Myanmar untuk mengakhiri konflik tidak berhasil, Timor Leste akan mempertimbangkan kembali rencananya untuk bergabung dengan ASEAN.
Baca Juga: Pesawat Latihan Militer di Australia Jatuh, 3 Marinir AS Tewas
Blok regional ini sendiri mengalami kemajuan yang minim sejak kudeta militer di Myanmar pada tahun 2021. Junta militer juga dianggap telah mengabaikan sebagian besar dari kesepakatan lima poin yang dirumuskan untuk menghentikan kekerasan. Kesepakatan tersebut merupakan hasil dari pertemuan khusus ASEAN yang digelar di Jakarta pada bulan April 2021, hanya dua bulan setelah kudeta berlangsung. Acara tersebut dihadiri oleh hampir seluruh kepala negara anggota ASEAN, termasuk Min Aung Hlaing, ketua junta Myanmar.