JABAR EKSPRES – Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menelusuri dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) mantan Direktur Utama PT Amarta Karya (Persero) Catur Prabowo (CP) melalui pembelian emas.
Penyidik KPK mengusut hal itu dalam wawancara dengan saksi pengusaha Liauw George Hermanto, Senin (21/8), di Gedung Merah Putih KPK.
“Saksi Liauw George Hermanto hadir dan didalami pengetahuannya antara lain terkait dugaan pembelian emas oleh tersangka CP yang dananya bersumber dari uang subkon fiktif di PT Amarta Karya (Persero),” ucap Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri, Selasa (22/8).
Namun, penyidik KPK tidak membeberkan nilai emas yang dibeli tersangka CP tersebut. KPK sudah memutuskan dua tersangka dari kasus dugaan proyek fiktif, mantan Direktur Catur Prabowo (CP) dan mantan Direktur Keuangan PT Amarta Karya Trisna Sutisna (TS).
KPK menangkap Trisna Sutisna pada 11 Mei 2023, sedangkan penahanan Catur adalah 17 Mei. Penyidik KPK kemudian menetapkan kembali Catur Prabowo sebagai tersangka dalam kasus dugaan pencucian uang (TPPU), Senin.
Baca Juga: Mario Dandy Menangis Sambil Meminta Maaf dan Curhat!
Penyidik KPK mengungkapkan, kasus tersebut bermula pada 2017. Saat itu, tersangka Trisna menerima perintah dari Catur Prabowo yang saat itu masih menjabat sebagai Direktur Utama PT Amarta Karya.
Catur memerintahkan Trisna dan penanggung jawab bagian akuntansi PT Amarta Karya untuk menyiapkan sejumlah uang untuk kebutuhan pribadinya yang dananya berasal dari pembayaran berbagai proyek yang dilakukan oleh PT Amarta. Selanjutnya, tersangka TS bersama beberapa karyawan PT Amarta Karya membuat badan usaha berupa CV yang digunakan untuk menerima pembayaran dari kontraktor PT Amarta Karya tanpa melakukan pekerjaan alias fiktif.
Pada tahun 2018, beberapa organisasi bisnis VC fiktif didirikan sebagai vendor yang menerima berbagai transaksi pembayaran dari kegiatan proyek PT Amarta Karya. Ini sepenuhnya diketahui oleh tersangka CP dan TS.
Untuk usulan anggaran pembayaran supplier, CP yang dicurigai selalu menawarkan klausula “lanjutkan” dengan persetujuan Surat Perintah Pembayaran (SPM) yang ditandatangani oleh TS tersangka.
Buku tabungan, kartu ATM dan cek CV badan usaha fiktif berada di tangan staf bagian akuntansi PT Amarta Karya, yang dipercaya oleh CP dan TS untuk memfasilitasi penarikan dan pencairan atas permintaan CP. Uang yang diterima tersangka CP dan TS itu kemudian disebut-sebut digunakan untuk membayar tagihan kartu kredit, membeli emas, bepergian ke luar negeri, membayar keanggotaan golf, dan memberikan hadiah kepada beberapa pihak terkait otoritas lainnya.