Menurut laporan yang diterbitkan oleh gereja pada tahun 2018, setidaknya 2.677 orang, kebanyakan anak-anak di bawah usia 13 tahun, telah menjadi korban pelecehan oleh pendeta Katolik antara tahun 1946 hingga 2014.
Selain itu, “pajak gereja” yang dikenakan pada jemaat juga membuat sebagian orang mulai meninggalkan gereja. Sebanyak 8-9 persen pendapatan mereka dipotong untuk keperluan gereja Katolik maupun Protestan.
Kehilangan anggota jemaat merupakan kerugian besar bagi gereja, karena hal ini juga berdampak pada pendanaan mereka untuk menjaga komunitas dan aktivitas gereja.
“Pada saat ini, Gereja Katolik sedang menghadapi masa sulit yang dapat dilihat oleh publik,” kata Thomas Schuller, seorang pakar hukum Katolik dari Universitas Munster kepada kantor berita Jerman, DPA.
Baca Juga: Pelanggaran Internasional! Militer Israel Menyasar Fasilitas Medis dalam Serangan Brutal di Tepi Barat Palestina
Krisis jemaat ini menunjukkan bahwa tantangan yang dihadapi oleh gereja-gereja di Jerman, baik Katolik maupun Protestan, bukan hanya terbatas pada faktor agama semata. Skandal pelecehan seksual dan beban finansial yang ditanggung oleh jemaat juga menjadi penyebab penting dalam penurunan jumlah anggota.
Bagi gereja-gereja ini, menjadi penting untuk merespons tantangan ini dengan transparansi, akuntabilitas, dan pembaruan yang diperlukan agar dapat memulihkan kepercayaan jemaat mereka dan menarik minat generasi muda yang semakin meninggalkan agama secara umum.
Krisis jemaat ini juga menjadi panggilan bagi gereja-gereja di Jerman untuk merenungkan kembali pesan-pesan dan nilai-nilai yang mereka sampaikan kepada umat. Dengan memahami perubahan sosial dan budaya, gereja-gereja dapat beradaptasi dan menemukan cara baru untuk relevan dan relevan dalam menghadapi tantangan zaman modern.
Meskipun perjalanan yang dihadapi oleh gereja-gereja di Jerman mungkin sulit, tetapi dengan komitmen yang kuat dan upaya kolaboratif, mereka dapat membangun kembali jemaat mereka dan menghadapi masa depan dengan keyakinan yang baru.