“Jadi, tidak mungkin kita memberikan uang ganti rugi terhadap tanah yang sudah sertifikat. Itu sama saja kita membeli tanahnya sendiri. Nah itu sudah tidak mungkin secara hukum. Yang mungkin itu hanya bisa memberi uang santunan. Itupun ada beberapa syarat, di antaranya harus menguasai fisik 10 tahun minimal,” imbuhnya.
“Nah mereka nempatin ini 1965, bagaimana bisa mendapatkan itu. Dan di objek tanah itu, yang mereka klaim-klaim itu sudah ada penggarap lain yang sebagian sudah mendapat uang kerohiman, dan sebagian lain sedang proses untuk mendapatkan uang kerohiman. Jadi, secara hukum tidak memungkinkan mereka mendapatkan uang ganti rugi,” sambungnya.
“Pesan saya, kalau memang mereka (warga) Depok mau memperjuangkan haknya, melalui jalur-jalur formal. Misalnya ke Pengadilan. Kalau mereka meminta semacam kebijakan, sampai hari ini secara hukum tidak memungkinkan untuk berikan kebijakan ganti rugi kepada mereka,” tambahnya.
“Putusan pengadilan menyatakan gugatan mereka tidak dapat diterima. Tetapi, poinnya bukan di situ. Pertimbangan majelis hakim waktu itu, kebetulan saya yang ikut sidang. Pertimbangan majelis hakim kenapa gugatan mereka tidak dapat diterima? Karena mereka tidak dapat menunjukan batas-batas pasti lokasi tanah itu,” paparnya.
Yang kedua, di atas tanah yang mereka tuju itu, sudah ditempati orang semua, para penggara yang mereka secara legal berdasarkan peraturan Presiden No. 62, itu berhak mendapatkan uang santunan, karena mereka sebagian sudah mendapat uang santunan memunuhi syarat 10 menempati. Jadi putusan itulah pertimbangannya, karena mereka tidak dapat menunjukan lokasi tanah dan di atas itu sudah ditempati oleh orang-orang lain,” tutupnya. (bbs)