Gading Wulan

Bahwa hari-hari pertama itu berat, mereka sudah tahu. Begitulah literaturnya. Masa berat itu harus bisa dilewati. Setelah itu semuanya akan bisa dijinjing.

Bahwa hari-hari pertama lemes, itu karena otak belum mencari sumber energi yang lain. Begitu hari ketiga tidak juga ada gula dan karbo otak mulai mencari sumber energi yang lain: lemak.

Begitu otak menemukan lemak, badan tidak lemes lagi. Energi dari lemak juga lebih hebat. “Satu gram karbo hanya menghasilkan 4 kc energi. Satu gram lemak menghasilkan 9 kc energi,” ujar Wulan.

Hari kelima sang kakak membaik. Tumor sebesar bola pingpong itu mengecil. Hari ketujuh tumor itu kempes sama sekali. Semua senang. Semua bahagia.

Hari ke-8 sang kakak meninggal dunia.

Usianya 53 tahun.

Wulan sendiri sudah melewati masa-masa yang berat. KetoFastosis itu sudah melewati masa kritis. Otak Wulan sudah menemukan sumber energi non-gula dan non-karbo.

Berat badan suaminyi pun mulai turun.

Wulan bertekad meneruskan hidup dengan KetoFastosis. Pun Sang suami.

Ini sudah tahun ke-8 Wulan dan suami hidup dalam KetoFastosis. Berat badan suami kini stabil di 74 kg. Wulan 52 kg.

Gajah mati meninggalkan gading. Sang kakak mati meninggalkan dr Eko Wulandari yang berjiwa gading. (Dahlan Iskan)

Komentar Pilihan Dahlan Iskan di Tulisan Edisi 24 Desember 2022: Ranking Antipiretik

Leong putu

@Duwi… Tips bisa pertamax sekarang, beda saat pertamax era baginda Fadil. Kalau sekarang agar bisa pertamax modalnya cuma Doa. Iya..doa. Doa agar istri ra tepak pol rewel. Doa agar hpnya rusak. Doa agar ra tepak pol kuotanya habis. Doa agar CHD terbit telat. Hanya itu harapannya. Meraih posisi pertamax era ra tepak pol bagai mengharapkan hujan di Kita Dili…. Duuuuh kenapa kota Dili ya ? Jadi ingat lagu romantis itu…Januari di kota Dili . by Rita Efendi. Hahaha

Ahmad Zuhri

Sabtu pagi turun hujan.. Hujan turun dari semalaman.. Walau ngopi sekedar sachetan.. Nikmat mana lagi yg didustakan.. #ngopi sachetan

Mirza Mirwan

Benar, memang. Di luar soal politik, pemerintah Tiongkok sangat peduli terhadap nasib warganya, bahkan yang tinggal di pelosok, dengan status minoritas ganda pula. Xinjiang, atau sebutan resminya Xinjiang Uyghur Autonomous Region — daerah otonom Uyghur Xinjiang — itu setingkat provinsi. Nah, di Xinjiang ini ada sebuah kabupaten dengan penduduk sekitar 40.000 jiwa, 80% suku Tajik. Kabupaten otonom Taxkorgan, namanya. Letaknya di dataran tinggi, di atas 3000m dpl. Nah, kemarin (Jumat 23/12), adalah peresmian beroperasinya bandara yang berada di ketinggian 3258m dpl di kabupaten Taxkorgan. Bandara itu dibangun sejak tahun 2020, menghabiskan biaya 1,6 miliar Yuan (US$229 juta) atau setara Rp3,6 triliun. Landas pacu (runway) bandara Taxkorgan itu 3.800m, lebih panjang ketimbang tiga landas pacu bandara Soetta yang 3.600-an (dua landas pacu) dan 3000m. Kata Bupati Taxkorgan, Zapar Attawulla, dengan adanya bandara itu akan mempercepat mobilitas warga, juga barang ke dan dari daerah lain di Tiongkok. Sebelumnya, dengan kendaraan darat, butuh waktu 50-an jam untuk ke Beijing. Dengan pesawat, meski mampir-mampir, paling lama 8 jam. Tetapi, bagaimanapun juga, saya tetap merasa bersyukur menjadi warga Indonesia dan tinggal di negeri tropis ini. Tidak ada negeri Utopia di dunia ini. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, saya mencintai Indonesia dengan sepenuh hati.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan