Oleh: Aa Wahyudi
Bisa ditebak, pasca deklarasi calon presiden yang diusung oleh Partai Nasdem (yakni mantan Gubernur Jakarta, Anies Rasyid Baswedan) di Nasdem Tower (3/10/2022) menimbulkan kegaduhan. Penulis sendiri tidak punya data yang pasti mengapa harus jadi kontroversi, namun penulis menduga ada dua faktor besar sebagai pemicunya. Yang pertama, banyak kebijakan Anies Baswedan selama menjabat sebagai Gubernur yang dianggap kontroversial. Sebut saja misalnya pembuatan sumur resapan dengan maksud air masuk ke tanah sekaligus menyedot genangan air.
Kedua, ini yang paling penting. Anies diusung oleh Nasdem yang nota bene masih ada di dalam barisan koalisi partai pendukung pemerintah. Sedangkan Anies dianggap sebagai simbol yang berseberangan dengan pemerintah.
Tercatat Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto yang memulai melontarkan sindiran ke kubu Nasdem, antara lain ia menyebut bahwa antar partai koalisi tidak boleh menunjukkan perbedaan misi dengan pemerintahan Jokowi – Amin Ma’ruf. Daa beberapa kalimat Hasto yang bisa ditelusuri rekam jejaknya. Ia menyatakan bahwa saat ini bukan saat yang tepat untuk mendeklarasikan capres mengingat pendaftaran capres baru dibuka pada Oktober 2023.
Berikutnya ia juga menyebut bahwa Nasdem mengaku mendukung Jokowi tapi bergandengan dengan partai oposisi. Hal ini memang jelas tampak karena suara Nasdem pada pemilu 2019 hanya 10,3% sehingga perlu berkoalisi dengan parpol lainnya. Dan hanya ada dua partai tersisa yang berstatus oposisi yakni PKS dan Demokrat. Kalimat pamungkas dari Hasto yang paling tajam adalah ketika ia menyatakan bahwa Nasdem tidak emmpunyai etika politik.
Tak pelak, serangan Hasto mendapat counterbalik dari kubu oposisi yang tidak kalah nyaringnya. Respon pertama justru bukan datang dari Nasdem melainkan pentolan Partai Demokrat, Andi Arief. Ia menyebut gaya politik Hasto mirip totoh PKI 1965, DN Aidit.
Apa sesungguhnya yang terjadi? Pendapat siapa yang benar dari kedua kubu? Dalam politik susah merumuskan siapa benar dan siapa salah. Semua pihak akan menganggap dirinya benar sedang pihak lawan sebaliknya. PDIP sebagai parpol pendukung utama pemerintah tentu merasa benar (dan berhak) menyemprit siapa saja yang mendahului start dalam setiap tahapan pilpres, apalagi menyangkut figur capres. Sedangkan Nasdem juga wajar jika berpandangan bahwa yang mereka lakukan adalah bagian dari persiapan pilpres 2024. Sedangkan untuk saat ini tetap loyal kepada pemerintah yang akan berakhir pada Oktober 2024, susah bukan? Itu sebabnya dalam dunia politik dikenal istilah “tidak ada persahabatan, yang ada adalah kepentingan”. Lantas penulis tambahkan dengan “tidak ada pihak yang mau disalahkan, yang salah adalah pihak yang tidak selaras dengan pandangan politik mereka”. Dan hal itu sekarang terjadi pasca pencapresan Anies Baswedan oleh Nasdem.