مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ، وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللهُ
Artinya: “Barangsiapa yang mengambil harta-harta manusia (berutang) dengan niatan ingin melunasinya, Allah akan melunaskannya. Dan barangsiapa yang berutang dengan niat ingin merugikannya, Allah akan membinasakannya” (HR Bukhari: 2387).
Dalam sebuah hadits lain yang diriwayatkan Imam Ahmad, Rasulullah juga telah menjelaskan bagaimana beratnya dosa orang yang melalaikan utang. Walaupun orang tersebut mati syahid sebanyak tiga kali, jika ia memiliki tanggungan utang, maka ia tidak akan masuk surga sampai ia melunasi utangnya. Sampai-sampai dalam sebuah kisah, Rasulullah saw sempat tidak berkenan untuk menshalati jenazah orang yang memiliki utang hingga sahabat Ali Bin Abi Thalib kemudian melunasi utang mayit tersebut. Rasulullah mengingatkan bahwa orang yang tidak melunasi utang akan menyesali perbuatannya. Di dalam kuburnya mereka terbelenggu tangannya dan tidak dapat dilepaskan hingga utang-utangnya dilunasi.
Bukan hanya di alam kubur, di akhirat kelak, orang yang memiliki utang akan diambil kebaikan yang telah dilakukan di dunia dan diberikan kepada orang yang memberinya utang. Setelah kebaikan yang berhutang tidak ada, maka keburukan-keburukan orang yang menghutangi dilimpahkan kepada orang yang berhutang. Hukum kausalitas (sebab-akibat) ini selaras dengan firman Allah swt dalam Al-Qur’an surat Az-Zalzalah ayat 7-8:
فَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَّرَهٗۚ وَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَّرَهٗ ࣖ
Artinya: “Siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah, dia akan melihat (balasan)-nya. Siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah, dia akan melihat (balasan)-nya.”
Untuk menghindari hal-hal ini, setiap individu harus memikirkan dengan matang keputusan untuk berutang. Kita juga harus memiliki etika dan memiliki niat untuk mengembalikannya dengan mengusahakan dari berbagai sumber yang sudah disiapkan. Al-Qur’an juga sudah memberikan panduan agar setiap orang yang berutang untuk dapat mencatat utangnya agar tidak lupa. Hal ini dilakukan untuk mengingatkan ada hak orang lain dalam utang yang dipakainya. Allah swt berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 282:
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berutang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu mencatatnya. Hendaklah seorang pencatat di antara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah pencatat menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajar-kan kepadanya. Hendaklah dia mencatat(-nya) dan orang yang berutang itu mendiktekan(-nya). Hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah dia menguranginya sedikit pun.”