KHUSNUL Chotimah kini menjanda. Buka warung mracangan. Di rumah kontrakannyi di Sidoarjo, sekitar 3 kilometer dari SMA Muhammadiyah, tempatnya sekolah sejak TK dulu.
Modal warung itu didapat dari April, wanita Swiss keturunan Tionghoa yang sejak awal membantunya berobat sampai ke Australia.
Setelah suaminyi tewas ditembak polisi, Khusnul memenuhi keinginan sang suami: menggunakan uang Rp 15 juta di lemari itu (Lihat Disway kemarin) untuk biaya kuliah anak mereka yang nomor dua.
Khusnul pun pergi ke Untag Surabaya. Dia ingin bertanya apakah anaknyi masih boleh meneruskan kuliah. Khusnul ragu. Anak itu sudah tidak kuliah selama dua tahun. Bahkan tidak membayar uang kuliahnya lebih lama lagi
Ternyata nama anak itu belum dicoret dari jurusan sastra Inggris. Sepanjang uang kuliah dibayar ia bisa langsung kuliah lagi.
Hari itu Khusnul melunasi tunggakan SPP. Uang peninggalan suami masih bisa dipakai sampai si anak lulus S1.
Si anak pun berhasil jadi sarjana. Sayangnya keadaan ekonomi lagi sulit. Lebih sulit lagi mencari pekerjaan.
Khusnul bertekad menemui Kepala BNPT Komjen Polisi Boy Rafli. Si anak kini menjadi tenaga honorer di BNPT.
Saya meminta Khusnul ke panggung ketika giliran saya berbicara di acara Dialog Kebangsaan Minggu lalu. Yakni di Warung NKRI di Kafe Hedon, Ngagel, Surabaya.
Di panggung itu ada Boy Rafli yang jadi pembicara utama. Ada juga rektor Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Akh. Muzakki yang berbicara setelah saya.
Khusnul adalah contoh penderitaan nyata korban bom Bali yang berkepanjangan. Penderitaan yang sambung-menyambung menjadi satu.
Pun sampai rumahnya disita bank. Sebelum bom meledak di Bali usaha sablon bersama suaminyi maju. Khusnul mencari modal tambahan ke BRI. Jaminannya rumah Khusnul di Sidoarjo.
Begitu jadi korban bom di Bali, usaha itu berhenti. Utang bank tak terbayar. Khusnul, dengan luka bakar sekujur tubuhnyi, tidak bisa mikir apa-apa. Masih bisa melanjutkan hidup dengan kulit yang sehat saja sudah beruntung. Suami, yang SMP pun tidak selesai, tidak bisa mencari penghasilan yang cukup.