JAKARTA – Sebelum hasil gugatan Wolrd Trade Organizatio (WTO) diputuskan, Pemerintah Indonesia sebaiknya harus segera melakukan pertemuan dengan Uni Eropa.
Hal ini dilakukan agar kebijakan diskriminasi sawit bisa diselasaikan dengan baik. Sehingga nantinya bisa menyikapi scenario atas putusan WTO itu.
Hal ini dikatakan Direktur Pengamanan Perdagangan Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Natan Kambuno dalam Forum Focus Group Discussion (FGD) di Jakarta dalam keterangannya.
Menurutnya, langkah ini merupakan bentuk antisipasi jika Indonesia kalah dalam laporan panel WTO. Selain itu proses mekanisme dan arbitrator peneyelesaian mamakan waktu lama.
“Dalam kaitannya dengan arbitrator, kami tidak bisa memilih arbitrator. Jadi, kami perlu ambil langkah persuasif juga,” ungkap Natan.
Sementara itu, Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bustanul Arifin berpendapat, pemerintah perlu melakukan gerak cepat dengan mengadakan pendekatan dengan negara pihak ketiga yang terkena imbas kebijakan Uni Eropa terkait ekspor sawit.
“Diplomasi akademik perlu terus dilakukan dengan kerja sama penelitian dan publikasi ilmiah. Dan dalam menghadapi kebijakan RED II ini, Indonesia juga sebaiknya mempererat diplomasi ekonomi dengan Argentina dan Malaysia, dan negara lain yang berpengaruh,” usul Bustanul.
Seperti diberitakan, Uni Eropa memberlakukan kebijakan RED II sejak 2018. Kebijakan ini membuat batasan dan mengategorikan biofuel berbahan baku kelapa sawit sebagai high ILUC (indirect land use change) risk. Karena dinilai menyebabkan alih fungsi lahan atau ekspansi signifikan terhadap lahan dengan stok karbon tinggi ke area produksi.
Selain itu, Uni Eropa memberlakukan penghentian biofeul berbahan baku minyak kelapa sawit secara bertahap hingga 2030 atau yang disebutnya Phase Out 2030.
Uni Eropa juga menetapkan konsumsi penggunaan energi berbahan baku food and feed corps untuk transportasi tidak boleh melebihi tujuh persen sejak 2020.
Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan total ekspor kumulatif pada periode Januari sampai Agustus 2022 mencapai US$194,6 miliar atau meningkat sebesar 35,42 persen jika dibanding periode yang sama tahun lalu.
Kinerja ekspor unggulan masih didominasi minyak kelapa sawit. Adapun ekspor pertanian hingga Agustus 2022 mencapai US$3,05 miliar.